Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, kemerdekaan bangsa Indonesia ini amanat penderitaan rakyat. Pada malam menjelang Pidato 1 Juni tentang Pancasila, Bung Karno mengaku bertafakur menengadahkah wajah ke langit meminta petunjuk kepada Yang Maha Pengasih. Dengan lirih, batinnya mengadu: “Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan Rakyat untuk mendatangkan Negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat Rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia-punya harta-benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjoangan kita ini’. Ya Tuhan, ya Allah, ya Rabbi, berilah petunjuk kepadaku, sebab besok pagi aku harus memberi jawaban atas pertanyaan yang maha penting ini.”
Salah satu monumen pengorbanan rakyat dalam rangka mencintai dan membela Tanah Air ini adalah Pertempuran Surabaya, pada 10 November 1945. Inilah pertempuran terbesar pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang menelan korban sekitar 16.000 jiwa. Sosok paling legendaris dari pertemuan yang dikenang sebagai Hari Pahlawan itu adalah Sutomo (lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo).
Kisahnya seperti ini. Tanggal 29 September 1945, pasukan Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dipimpin Letjen Sir Philip Christison tiba di Jakarta. Pasukan tiba disertai pegawai sipil Belanda yang biasa disebut NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tujuan kedatangannya adalah melucuti senjata tentara Jepang, menyelamatkan tentara Sekutu yang ditawan dan mempersiapkan pengembalian pemerintahan pada Belanda (Thorne, 1986). Namun dalam pandangan para pemuda, apa yang dilakukan pasukan Inggris itu adalah membantu Belanda. Adam Malik melukiskan, tawanan tentara Belanda itu kemudian dibawa dan dipersenjatai Belanda. Maka bentrokan bersenjata pun terjadi di sejumlah daerah seperti Sukabumi, Cianjur dan Surabaya. “Itu sebabnya, kita waktu itu pun marah sama Sekutu,” jelas Adam Malik (Malik, 1986). Adanya tawanan perang Belanda yang dipersenjatai itulah yang memicu konflik bersenjata dan bahkan membuat Pemerintah Indonesia mengungsi dari Jakarta ke Yogyakarta.
Sebelumnya, pada 19 September 1945 malam, orang-orang Belanda yang dipimpin W.V.Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato/Hotel Orange Surabaya. Para pemuda Surabaya yang melihat bendara itu geram. Indonesia sudah merdeka dan bendera Belanda tak sepantasnya lagi berkibar di Bumi Nusantara. Para pemuda pun memanjat dinding hotel dan merobek bendera merah-putih-biru itu menjadi bendera merah putih, sambil bertakbir dan meneriakkan pekik merdeka, yang disambut gempita para pemuda yang berkerumun di halaman hotel itu. Empat pemuda gugur dalam peristiwa itu: Cak Sidik, Mulyadi, Hariono, dan Mulyono. Ploegman sendiri tewas ditusuk senjata tajam oleh massa yang marah.
Keadaan makin memanas. Pertempuran yang terjadi antara rakyat dan pihak sekutu itulah yang kemudian membuat pasukan Inggris berniat melucuti senjata rakyat Indonesia. Pasukan Inggris mengirimkan tentara dari Divisi India ke-23. Namun pasukan ini bisa disapu bersih oleh tentara rakyat Indonesia. Bahkan komandan pasukan, Brigjen A.W.S. Mallaby pun tewas, dalam pertempuran di Surabaya. Inggris mengirimkan pasukan tambahan, tentara dari Divisi India ke-5. Namun tentara India itu tidak berperang sepenuh hati. Di India sendiri, pada November 1945 rasa nasionalisme India sedang memuncak. Di India menguat tuntutan untuk tidak menggunakan orang India untuk menindas bangkitnya rasa kebangsaan sesama bangsa Asia (Thorne, 1986). Tetapi Perdana Menteri Inggris, Ernest Beevin menegaskan pada Oktober 1945, “Jangan beri pengakuan kepada penguasa yang mana pun yang tidak disetujui oleh Pemerintah Belanda.”
Di Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945, para ulama Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan yang bertajuk “Rapat Besar Wakil-wakil Daerah (Konsul2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seluruh Djawa-Madoera” untuk membahas perkembangan terakhir di bumi Indonesia. Pertemuan ini menghasilkan apa yang dinamakan Resolusi Jihad yang meminta Pemerintah Indonesia “supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang. Dari pihak Republik, para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan Sabilillah yang dipimpin K.H. Maskur. Sedang H. Zainul Arifin memimpin pasukan pejuang dari kalangan santri dan pemuda. Untuk para kiai sepuh K.H. Wahab Hasbullah memimpin pasukan Mujahidin. Selain itu, ada pasukan Brimob dari Kediri dan Semarang. Pertempuran sengit sudah diperkirakan bakal berlangsung. Pasukan Inggris menyerang Surabaya melalui darat, laut dan udara.
Dini hari 10 November 1945, para pejuang siaga. Mereka berasal dari berbagai kelompok seperti TKR, PETA, dan pasukan lain. Di tempat lain pada hari itu, di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Pemuda yang dihadiri dwitunggal Soekarno-Hatta. Komandan Tentara Inggris di Jawa Timur, Mayjen Mansergh mengultimatum pera pemuda Surabaya untuk menyerahkan diri dan senjata yang dirampas para pemuda dari militer Jepang.
Dalam situasi genting itu, muncullah pemuda Sutomo. Pria kelahiran Surabaya, 3 Oktober 1920, ini adalah wartawan yang pada usia 17 menjadi pandu terbaik se-Hindia Belanda dan memiliki minat pada dunia radio. Ia mendirikan Radio Pemberontakan setelah meminta izin Menteri Penerangan, Amir Syarifuddin. Bung Tomo tampil melalui corong radio pemberontakan. Markasnya terletak di sebuah rumah kecil di dalam gang, diapit dua rumah Cina dan di dalamnya terdapat peralatan pemancar radio yang amat sederhana.
Namun, ternyata dari ruang kecil itulah menggelegar suara lantang Bung Tomo lewat radio: “Bismillahirrohmanirrohiim! Merdeka!!! Saudara-saudara tukang becak! Saudara-saudara tukang soto, bakul-bakul tahu. Saudara-saudara orang Madura, tukang-tukang loak. Kita diserang maka kita sekarang akan menyerang. Darah pasti akan banyak mengalir. Jiwa akan banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita tidak akan sia-sia. Anak-anak, cucu-cucu di kemudian hari Insya Allah pasti akan menikmati segala hasil dari perjuangan kita. Saya tahu, wanita-wanita kita tidak mau meninggalkan kota. Saya tahu banyak pemuda kita tetap berada di kota. Maka dengan ini, sekali lagi, semua pasukan kami perintahkan: Majulah! Hapuslah lawan kita ini! Tuhan akan beserta kita! Kemenangan akhir pasti kita capai! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”
Pidato Bung Tomo di radio Pemberontakan itu seperti seruan jihad, yang kemudian direlai Radio Republik Indonesia. Menjawab ultimatum pasukan Inggris, dengan lantang ia berseru: “Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita, ini jawaban rakyat Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian: Hai tentara Inggris! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.”
Dalam pidatonya tersebut, Bung Tomo mengajak rakyat Surabaya untuk bersiap menghadapi keadaan genting. Namun Bung Tomo mengingatkan, “Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka. Itu kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.” Lalu Bung Tomo menegaskan, “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!” Pidato mantan wartawan Domei Bagian Indonesia itu diakhiri dengan menyatakan keyakinannya, “Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”
Pihak Belanda menganggap enteng dan mengejek pidato radio itu dengan menyatakan bagaimana Republik Indonesia dipertahankan hanya dengan sebuah mikrofon radio. Tetapi, pidato radio itu bukan hanya membangkitkan semangat perlawanan, namun juga membangun kesadaran baru. Bahkan seorang Soekarno sekalipun akhirnya belajar dari apa yang dilakukan Bung Tomo itu, bahwa dalam suatu masa revolusi “sebuah suara dapat bernilai lebih banyak daripada sebuah kementerian” (Anwar, 1994).
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)