Kekhawatiran Presiden Joko Widodo terhadap dunia investasi tidak bisa dibendung, hingga pada sidang kabinet tercetus kecemasannya melihat gejala yang menghambat investasi oleh regulasi yang dikeluarkan ditingkat kementerian. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Peneliti Institute For Development Of Economics And Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan permasalahan dari kebijakan Presiden Jokowi untuk berhutang ke luat negeri, lantaran tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan penerimaan negara.

Sehingga, kebijakan pemerintahan rezim Jokowi untuk berhutang menjadi beban fiskal bagi keuangan negara.

“Sebenarnya yang dipermasalahkan dari hutang adalah pertumbuhannya tidak diimbangi dengan kenaikan penerimaan Negara terutama dari pajak,” kata Bhima saat dihubungi aktual.com, di Jakarta, Selasa (26/9).

“Akhirnya hutang malah menjadi beban fiskal karena 14% lebih penerimaan pajak habis untuk membayar bunga hutang yang jumlahnya mencapai Rp219 triliun di 2017,” tambahnya.

Tidak hanya itu, Bhima juga mengkritik pengolahan hutang pemerintahan presiden asal PDI Perjuangan tersebut. Sebab, faktanya penyerapan belanja modal dari 2015-2016 mencapai 78% hingga 80%.

“Klaim Pemerintah hutang diperlukan untuk mendorong kegiatan produktif juga lemah. Itu artinya tidak seluruh belanja modal terserap, padahal pemerintah sudah terlanjur menarik hutang,” ujar dia.

Masih dikatakan dia, menjadi persoalan lain terkait adanya besaran bunga hutang. Meskipun lembaga rating sudah memberikan investment grade bahkan Moodys memberikan positive outlook, tetapi penurunan bunga terhadap surat hutang tidak signifikan.

“Bunga surat hutang Indonesia pun tergolong tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya,” pungkasnya.

Laporan: Novrizal Sikumbang

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby