Pengelolaan Pulau Morotai larus libatkan masyarakat Maluku Utara. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta jangan semena-mena membuat kebijakan pengelolaan Pulau Morotai-Maluku Utara, apalagi ketika melibatkan negara asing yang pastinya sarat dengan pertimbangan kepentingan baik bersifat strategis jangkap panjang maupun pragmatis jangka pendek. Selain dari pada itu, Morotai dan Maluku Utara sejatinya bukanlah negeri tak bertuan yang bisa jadi obyek aneka kepentingan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Begitulah kita-kira kesimpulan umum dari Dialog Kemaritiman “Refleksi 500 tahun kejayaan maritim : membangun kesepahaman gagasan geopolitik di Asia-Pasifik,yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia se-Maluku Utara.

Fpto seminar di tidore

Hadir sebagai narasumber adalah Walikota Tidore Kepulauan, Sultan Tidore Capit H Ali Ibrahim, SH, Dan Lanal Ternate Kolonel Laut Rizaldi, dan Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dam Pemimpin Redaksi Aktual.

Acara yang berlangsung di Aula Nuku, Kantor Walikota Tidore Kepulauan Sabtu 25 Februari 2017, dihadiri oleh para pengurus teras PMII se-Maluku Utara dan beberapa organisasi kemasyarakatan mahasiswa yang baik dari Tidore maupun Ternate.

Dalam kerangka acuan dialog yang menggunakan format seminar tersebut, PMII memandang Indonesia sebagai negara laut utama yang ditaburi dengan pulau-pulau, sejatinya  memiliki posisi yang sangat strategis dan istimewa di Asia Pasifik, sehingga Indonesia yang terletak di antara dua kawasan produksi dan konsumsi menjadi pusat pelayaran dan perdagangan.

Hal ini dapat dilihat dari sumber Tionghoa abad XIII, yaitu Zhufan zhi karya Zhau Rukua (1264) pada buku ‗Orang laut, Bajak laut, Raja laut‘ mencatat cengkeh dihasilkan oleh Palembang, Jawa dan Pulau Hainan, dengan kata lain pedagang Tionghoa tidak langsung ke Maluku untuk memperoleh cengkeh, tetapi memperolehnya dari Sumatra, Jawa dan Hainan (Lapian 2009:64).

Fakta ini memperlihatkan sejak dahulu Nusantara telah menjadi jalur dan pusat perdagangan yang ramai dan sering dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang yang berlayar dan mencari pusat-pusat perdagangan.

Terkait dengan program Poros Maritim Dunia Presiden Jokowi, maka PMII merasa perlu menggarisbawahi bahwa Indonesia sebagai negara laut utama yang ditaburi dengan pulau-pulau memiliki posisi yang sangat strategis dan istimewa di Asia Pasifik. Karena itu dalam membuat dan menyudun kebijakan stratgis kemaritiman, terutama dalam menjalin kerjsama dengan negara-negara lain, harus mengutamakan kepentingan nasional dan mendayagunakan keunggulan geografis masing-masing daerah di bumi nusantara, dan bukannya malah melayani kepentingan negara-negara asing.

Maka itu, PMII merasa perlu menggarisbawahi pentingnya membangun kesadaran dan pemahaman atas konstalasi politik secara global di Asia Pasifik melalui perspektif geopolitik.  Mengingat semakin menajamnya perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Blok Barat versus Cina dan para sekutu-sekutunya.

Maka berkaitan dengan hal itu, para pemangku kepentingan sektor kemaritiman dan kebijakan luar negeri perlu memiliki kemampuan membaca secara cermat dengan menggali pengetahun, baik sejarah maritim bangsa ini dan juga teori- teori pembangunan sebagai bentuk pemasok kesadaran pada ruang batin terdalam generasi muda di tiap kawasan.

Selain itu, juga sebagai rekonstruksi budaya (nilai, norma dan identitas) bangsa maritim sebagai sumber inspirasi menyusun kebijakan strategis kemaritiman Indonesia.

Prakarsa PMII menggelar tema tersebut disambut baik oleh Sultan Tidore Husain Sjah yang pada pokoknya menggarisbawahi agar kebijakan pengelolaan Pulau Morotai harus dilandasi kerangka kebijakan mengangkat derajat dan harkat manusia Maluku Utara.

Hal ini agaknya senada dengan surat terbuka Sultan Tidore beberapa waktu lalu kepada Presiden Jokwi apakah Seperti yang ditulis Sultan Tidore kepada Presiden Jokowi: “Saya ingin bertanya kepada Yang Mulia, apakah kerja sama yang Mulia lakukan itu telah melalui pertimbangan yang menyeluruh? Baik dari sisi ekonomi, politik dan budaya, pertahanan keamanan serta harkat dan martabat bangsa? Dan, apakah dalam kerja sama tersebut yang Mulia telah melibatkan pemerintah Morotai dan masyarakat pulau Morotai sebagai pemilik sah pulau tersebut? Sungguh saya sedih kalau penduduk dan pemilik syah pulau morotai tidak dilibatkan.”

Kekhawatiran berbagai kalangan bahwa kebijakan pengelolaan Morotai antara Indonesia dan Jepang yang tidak melibatkan masyarakat Pulau Morotai, memang satu hal. Namun Hendrajit, memandang adanya kepentingan tersembunyi Jepang di balik format kerjasama RI-Jepang di bidang Pariwisata meskipun saat ini masih berupa tawaran RI kepada Jepang. Dan pihak pemerintah Indonesia tidak menyadarinya, bisa membaca bencana geopolitik bagi Indonesia.

Mengapa Pulau Morotai dan Pulau Sabang ditawarkan Indonesia kepada Jepang padahal kedua pulau itu merupakan aset geopolitik Indonesia? Menurut Hendrajit, seperti halnya Cina ketika meminta dilibiatkan dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bitung Sulawesi Utara, dalam kerangka kerjasama Indonesia-Cina, maka  niatan Jepang untuk ikut mengelola Pulau Morotai  pun harus kita baca cara pandangnya dalam membaca Geopolitik Indonesia/ Agar kita tahu apa pentingnya bagi Jepang diikutsertakan dalam mengelola Pulau Morotai.

Ada dua hal yang perlu jadi catatan penting. Pertama, dalam memandang daerah jantung (heartland) Indonesia, ada perbedaan yang cukup mendasar antara Belanda dan Jepang. Kalau pemerintah kolonial Belanda, menguasai Pulau Jawa berarti menguasai Indonesia. Lepas Jawa, maka kepaslah Indonesia. Dengan kata lain, daerah jantung Indonesia dalam pandangan Belanda adalah Jawa,

Jepang rupanya lain lagi. Bagi Jepang, Sumatra lah yang justru merupakan daerah jantung Indonesia. Dalam istilah para perancang strategi geopolitik dan militer Jepang, Sumatra maupun Semenanjung Malaya (waktu itu Malaysia dan Singapura masih menjadi satu) merupakan “daerah inti” alias nuclear zone di kawasan Asia Tenggara. Jepang menyebut Asia Tenggara adalah wilayah Nanyo (Southern Areas) atau kawasan Selatan.

Dalam perhitungan militer Admiral Nakamura, seorang perwira tinggi Jepang yang diperintahkan memimpin operasi militer menaklukkan kawasan Selatan atau Asia Tenggara ini, mundur dari Sumatra berarti lepaslah Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.

Dalam perhitungan geopolitik Jepang, Pulau Sumatra merupakan titik pusat persilangan Timur dan Barat di Asia Tenggara selama berabad-abad. Sehingga untuk memutus tali hubungan seraya mengusir persekutuan Amerika Serikat dan Inggris di kawasan strategis ini, maka Jepang harus menguasai Sumatra.

Jepang beranggapan bahwa datangnya serangan tentara sekutu diperkirakan datang dari Sri Lanka. Maka dari itu tumpuan pertahanan tentara pendudukan Jepang di Indonesia harus dipusatkan di sekitar Selat Malaka (Seluruh Pulau Sumatra dan Malaya). Apalagi secara geo-ekonomi, Sumatra memang kaya sumberdaya alam seperti minyak bumi, karet, timah, batu bara, dan bauksit (di pulau Bintan). Semua sumber daya alam tersebut sangat dibutuhkan Jepang sebagai basis pembangunan dan pengembangan industri negara Sakura tersebut.

Jadi, dalam klasifikasi prioritas strategis Jepang secara geopolitik di Indonesia bisa diurut sebagai berikut: Pertama, Pulau Sumatra. Kedua, Pulau Jawa, Madura dan Bali. Ketiga, Kawasan Indonesia bagian Timur (Kalimantan/Borneo, Sulawesi, Maluku/Ambon, Papua, dan Timor yang berbatasan dengan Australia). Kawasan Indonesia bagian Timur ini kaya akan minyak bumi.

Meskipun secara tata urut, kawasan Indonesia bagian Timur berada di urutan paling akhir, namun bagi Jepang sama penting dan strategisnya dengan Sumatra.

Buktinya dalam fase pertama pendudukan Jepang di Indonesia, tentara Jepang sudah berhasil menduduki sebagian besar kawasan Timur Indonesia itu sejak Desember 1941. Jadi sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942.

Dari gambaran sekilas mengenai betapa strategisnya kawasan Indonesia tersebut, bisa dimengerti jika Pulau Morotai dan Pulau Sabang begitu penting dan strategis bagi Jepang.

Dalam cara pandang Jepag memandang Geopolitik Indonesia, menguasai Pulau Morotai bukan sekadar untuk tujuan ekonomi-perdagangan, melainkan untuk menguasai geopolitik Indonesia, seraya mengantisipasi pengaruh Cina yang semakin kuat ke kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara.

Selain itu, mengingat pengalaman buruknya semasa Perang Dunia II, dalam jangka panjang untuk mengantisipasi jika kelak Amerika Serikat dan Inggris kembali menjadi musuhnya seperti ketika meletus Perang Asia Timur Raya semasa Perang Dunia II.

Dalam pertimbangan geopolitik Jepang, menguasai Pulau Morotai,  berarti menguasai mata-rantai mulai dari Manado, Gorontalo, Poso, Kendari, Flores Nusa Tengggara Timur, Timor-Leste, Maluku, Australia. Yang berarti menguasi Samudra Pasifik.

Pada saat yang sama, ke jalur atas, dengan menguasai Pulau Morotai berarti Jepang akan mengawal Filipina, Taiwan, Shanghai di Cina Selatan, Manchuria (Daerah Sengketa antara Jepang dan Rusia), serta Siberia yang merupakan pintu gerbang jalur timur Rusia ke Asia Pasifik.

Pada sisi lain, melalui Morotai, Jepang akan menguasai jalur-jalur mulai dari Laut Andaman(Thailand), Sumatra, Teluk Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina/Mindanao, Sulawesi Utara, dan Maluku. Di sinilah nilai strategis Morotai bagi Jepang.

Menyadari hal itu, kembali ke tema utama dialog kemaritiman yang diprakarsai PMII, rasanya mustahil dan omonh kosong saja jika upaya mengembalikan superioritas kemaritiman bangsa Indonesia tidak disertai dengan gagasan dan ksepahaman seluruh elemen strategis bangsa mengenai gagasan dan visi geopolitik dalam melandasi semua penyusunan kebijakan strategis terkait kemaritiman.

Memang sikap skeptis tersebut sangat beralasan, apalagi terkait tiga opsi tawaran kerjasama Indonesia-Jepang mengenai pengelolaan Pulau Morotai di bidang pariwisata diajukan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman tanpa melibatkan koordinasi dengan kementerian lain maupun para pemangku kepentingan di sektor kemaritiman.