Presiden Prabowo Subianto menanggapi kabar mengenai kesepakatan transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari negosiasi penurunan tarif impor sebesar 19 persen.
“Ya nanti itu sedang, negosiasi berjalan terus,” ujar Prabowo di Jakarta International Convention Center, Rabu (23/7/2025).
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menjelaskan, bahwa pertukaran data pribadi hanya dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Menurutnya, pertukaran itu hanya dilakukan dengan negara yang dinilai mampu menjamin keamanan dan perlindungan data.
“Kita hanya bertukar data berdasarkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi kepada negara yang diakui bisa melindungi dan menjamin menjaga data pribadi,” kata Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (23/7/2025). Ia menambahkan, praktik serupa juga dilakukan Indonesia dengan negara lain seperti Uni Eropa.
Hasan menegaskan bahwa data pribadi masyarakat tetap berada di bawah kendali pemerintah Indonesia. Ia juga menyebut bahwa pengelolaan data tetap dilakukan secara domestik oleh masing-masing negara.
Hasan mengaku telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang memimpin negosiasi perdagangan ini.
Menurutnya, tujuan pertukaran data ini bersifat komersial dan berkaitan dengan barang-barang tertentu yang dapat menimbulkan risiko, seperti bahan peledak.
“Itu untuk pertukaran barang jasa tertentu yang nanti bisa jadi bercabang dua, bisa jadi bahan bermanfaat tapi juga bisa jadi barang yang berbahaya seperti bom. Itu butuh keterbukaan data, siapa pembeli siapa penjual,” ujarnya.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan akan segera melakukan koordinasi dengan Airlangga Hartarto terkait kesepakatan transfer data pribadi ini. Ia menyebut penjelasan lebih lanjut akan disampaikan setelah proses koordinasi rampung.
Sebelumnya, Gedung Putih melalui situs resminya merilis dokumen berjudul “Lembar Fakta: Amerika Serikat dan Indonesia Capai Kesepakatan Dagang Bersejarah” yang menyebut bahwa Indonesia akan menghapus hambatan tarif terhadap lebih dari 99 persen produk ekspor AS, termasuk sektor pertanian, kesehatan, otomotif, dan teknologi informasi.
Dalam bagian lain dokumen itu, disebut bahwa Indonesia akan memberikan kepastian atas kemampuan memindahkan data pribadi ke AS dengan mengakui bahwa AS memiliki standar perlindungan data yang memadai sesuai dengan hukum Indonesia. Perusahaan-perusahaan AS disebut telah mendorong reformasi ini selama bertahun-tahun.
Bisa Jadi Boomerang
Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan Gedung Putih pada 22 Juli 2025 membuka banyak pintu, namun juga menyalakan alarm.
Di balik gembar-gembor penurunan tarif hingga 19 persen dan dibukanya akses ekspor AS ke hampir semua sektor Indonesia, terselip satu klausul penting yang seharusnya tak dilalui begitu saja, yaitu komitmen Indonesia untuk memungkinkan transfer data pribadi ke luar negeri, termasuk ke AS.
Pemerintah Indonesia berdalih bahwa pertukaran data akan tetap mematuhi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dan hanya dilakukan dengan negara yang diakui memiliki sistem perlindungan memadai.
Namun, kesediaan membuka jalur lintas batas untuk data pribadi di tengah negosiasi dagang menandakan bahwa kedaulatan digital Indonesia tengah dinegosiasikan di atas meja yang sama dengan tarif dan ekspor jagung.
Dalam lembar fakta resmi AS, disebut secara gamblang bahwa Indonesia akan memberikan kepastian hukum atas pemindahan data pribadi ke AS dengan cara mengakui yurisdiksi Amerika sebagai entitas yang setara dengan ketentuan perlindungan data dalam hukum Indonesia.
Padahal, AS hingga saat ini belum memiliki undang-undang perlindungan data federal yang setara dengan General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa. Ketergantungan pada komitmen perusahaan-perusahaan besar seperti Meta, Google, dan Amazon bisa menjadi celah besar terhadap potensi penyalahgunaan data.
Pemerintah menekankan bahwa pengelolaan data tetap akan dilakukan secara masing-masing dan tidak akan menyerahkan kendali pada pihak asing.
Namun, dalam praktiknya, begitu data dipindahkan ke luar yurisdiksi nasional, kontrol penuh atasnya pun menjadi kabur. Ini bukan sekadar isu teknis, melainkan menyangkut prinsip dasar kedaulatan negara atas informasi warganya.
Ada alasan mengapa banyak negara kini memperkuat rezim lokalisasi data. Data adalah aset strategis baru, setara dengan sumber daya alam.
Jika dulu diplomasi dagang berkutat pada tarif baja atau kedelai, kini yang dipertukarkan bisa jadi adalah rekam medis, lokasi, kebiasaan konsumsi, hingga identitas digital warga negara.
Indonesia memang butuh pasar. Tapi dalam mengejar preferensi dagang, jangan sampai pemerintah melepas kendali atas aset paling intim dari warganya, data pribadi. Jika kesepakatan ini dilanjutkan tanpa pengamanan konkret, maka keuntungan ekspor jangka pendek bisa berbalik menjadi kerugian kedaulatan digital jangka panjang.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















