Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, tatkala ketidakadilan dan kesemena-menaan sudah tidak bisa ditolerir, selalu muncul orang yang berjuang untuk menegakkan hak asasi manusia. Kisah memperjuangan keadilan, sebagai lahan subur persemaian kemanusiaan, datang dari orang yang bersiteguh untuk hidup dalam kejujuran dan kesederhanaan namun tetap berkarya di tengah beratnya tantangan hidup. Bagi mereka, mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan panggilan jiwa yang terpancar dari keyakinan religiusnya yang meminta manusia untuk menegakkan keadilan dan menjaga martabat kemanusiaan.
Salah seorang nama yang menjulang dalam pemberian bantuan hukum dalam menegakkan hak-hak dasar manusia adalah Yap Thiam Hien. Lahir di Banda Aceh, 25 Mei 1913, sebagai cucu dari Kapitan Yap Hun Han, yang berimigrasi dari provinsi Guangdong, China, ke Bangka, sebelum akhirnya pindah ke Aceh. Dibesarkan dalam lingkungan perkebunan dengan nuansa ekspoitasi manusia yang memilukan, Yap Thiam Hien kecil terbentuk menjadi pribadi pemberontak yang membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Dengan mendapatkan status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa, Yap memperoleh kesempatan mamasuki sekolah dasar Europesche Lagere School (ELS) di Banda Aceh, berlanjut ke MULO di kota yang sama. Pada tahun 1920-an bersama orang tuanya pindah ke Batavia sehingga ia pun melanjutkan sekolahnya di MULO Batavia, diteruskan ke AMS di Bandung dan Yogyakarta hingga lulus tahun 1933. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia tinggal di sebuah keluarga keturunan Jerman, dimana ia bisa mengenal ajaran kasih Kristus yang banyak memberikan pengaruh bagi prinsip hidupnya di kemudian hari.
Keinginan Yap untuk mengenal iman Kristen berlanjut saat ia memasuki Sekolah Guru di Batavia, hingga ia dibaptis di GKI Perniagaan dan membuatnya menjadi seorang Kristen pada usia 25 tahun. Setelah kemerdekaan, Yap melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, hingga meraih gelar Meester de Rechten.
Sepulang ke Tanah Air, ia bekerja sebagai advokat dan pada 1950 membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar Kantaatmadja, hingga akhirnya membuka kantor pengacaranya sendiri pada 1970. Selain memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), Yap juga mendirikan BAPERKI, yang mengantarnya menjadi anggota Konstituante.
Sebagai advokat yang memberikan perhatian besar pada pembelaan hak-hak dasar manusia, Yap menunjukkan apa yang dicita-citakan Soekarno soal kemanusiaan, “kemanusiaan boleh tapi mesti adil. Jangan salah sendiri tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam.” Yap membuktikan ini, seperti saat anak sulungnya, Hong Gie, yang berusia 16 tahun, mengendarai mobil tanpa memiliki SIM dan menabrak seorang anak. Hong Gie sampai menginap 2 malam di kantor polisi, dan Yap hanya mengingatkan anaknya untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Pada sisi lain, anak yang menjadi korban sering dijenguk oleh istri Yap.
Yap yang dikenal sebagai pejuang HAM dan pembela mereka yang terpinggirkan dan terzalimi ini selalu mengawali konsultasi dengan kliennya dengan pernyataan: “Jika anda hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai advokat anda, karena pasti kita akan kalah. Tapi jika anda merasa cukup dan yakin mengemukakan kebenaran anda, maka saya bersedia menjadi pembela anda.” Kebenaran itulah yang menjadi pegangan bagi Yap dalam menegakkan keadilan hukum. Pada sisi lain, bukan berarti Yap yang teguh prinsip itu akan selalu merasa benar sendiri. Bahkan Yap pernah meminta maaf pada anaknya yang memprotes tindakannya menghukum anaknya dengan pukulan.
Dalam melakukan pembelaan keadilan sebagai cerminan rasa kemanusiaan, Yap tidak pernah pandang bulu; bahkan terhadap orang yang berseberangan secara keyakinan. Ia pernah diminta Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk membela mantan Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri A. Soebandrio yang dituduh sebagai salah satu tokoh G-30-S/PKI, pada masa awal Orde Baru. Padahal mengingat suasana saat itu, Soebandrio termasuk figur yang jadi musuh publik. Yap menerima tugas itu dengan menyatakan, “Kalau begitu yang diperintahkan oleh Pemerintah, saya tidak ada jalan lain kecuali menerimanya.” Dalam menjalankan tugasnya Yap yang tidak dibayar sepeser itu pun menggunakan segenap kemampuannya. Yap yang dikenal sebagai pribadi antikomunis juga membela para tersangka G-30-S/PKI seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat.
Sebagai advokat, Yap tak memilih-milih kliennya. Sejak menjadi advokat tahun 1948, Yap selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan HAM, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Yang lebih mengesankan, dalam melakukan pembelaan tersebut, Yap tidak pernah terlalu mempersoalkan kompensasi material. Pada masa beliau berkiprah sebagai advokat, belum ada kewajiban bagi para advokat untuk melakukan pendampingan pro bono (membela tersangka dengan cuma-cuma). Meski tanpa kewajiban, banyak kasus yang ditanganinya merupakan kasus besar yang ditangani dengan model pro bono. Dalam prinsip hidupnya, “Uang adalah tujuan yang tak dikedepankan dan karenanya tak kunjung datang, tetapi pendirian membuatnya bertahan.”
Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan atau dipenjara. Pada era Bung Karno, Yap juga pernah menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, yang sebagian besar adalah pejuang, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Soebadio, Syahrir, dan Princen. Yap juga pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung.
Atas keluhuran nilai kemanusiaannya dan keteladanannya dalam memperjuangan kemanusiaan yang adil dan beradab, namanya diabadikan sebagai nama penghargaan “Yap Thiam Hien Award”, yang dianugerahkan bagi mereka yang berjasa dalam bidang HAM dan kemanusiaan.
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual