Jakarta, Aktual.co — Kepala Pusat Informasi dan Humas (Kapuspinmas) Kementerian Agama Rudi Subiyantoro menyatakan sinkronisasi data antara pusat dan daerah dalam bidang keagamaan perlu ditingkatkan, mengingat secara geografi Indonesia sedemikian luas yang membutuhkan penyatuan pandangan tentang pengelolaan data sebagai pengambil kebijakan.

“Kekuatan suatu negara bisa diperhitungkan dari kemampuan mengelola data. Amerika Serikat sebagai negara adidaya memiliki data lengkap jika akan menyerang negara lain, sehingga dalam waktu singkat bisa meraih keunggulan atau kemenangan,” katanya, Selasa (5/5).

Data yang dimaksud adalah kekuatan militer dari negara bersangkutan dan negara yang jadi sasaran akan dihancurkan. “Berapa tank yang dimiliki, pesawat tempur dan jumlah personelnya, semuanya didata dengan baik, kemudian diukur pula dengan kemampuan sendiri,” ujar Rudi.

Sebanyak 80 peserta dari berbagai daerah pada lingkungan Ditjen Bimas Buddha ambil bagian dalam kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut.

Didampingi Kabid Data Pinmas Kemenag, Sulistyowati dan Kabag Perencanaan dan Sistem Informasi Bimas Buddha, Saiman, Kapuspinmas Rudi juga secara panjang lebar menjelaskan tentang peran data sebagai dasar pijakan pengambil kebijakan.

Ia sempat menyinggung tentang peran teknologi yang mendukung pengelolaan data. Data yang tersimpan di satu lokasi ke depan sudah harus dipikirkan penempatannya memiliki “back up”-nya, sehingga jika ada peristiwa seperti gempa, rusak akibat konflik dan sebagainya maka data yang bersangkutan tidak hilang.

“Dalam teknologi informasi, ‘back up’ merupakan proses membuat data cadangan dengan cara meng-‘copy’ atau membuat arsip data komputer sehingga data tersebut dapat digunakan kembali apabila terjadi kerusakan atau kehilangan,” katanya.

Teknologi penyimpanan data pun kini semakin maju, seperti “chip memory”. Pada beberapa tahun ke depan, teknologi penyimpanan foto tidak membutuhkan ruang besar. Kini dan ke depan, dapat dipastikan akan semakin sederhana.

Terkait dengan pengelolaan data, ia berharap umat Buddha pun ikut mendukung melakukan sinkronisasi data, khususnya di bidang keagamaan. Berapa rumah ibadah umat Buddha, lembaga pendidikan yang dimiliki dan jumlah pemeluknya yang secara berkesinambungan dilakukan “up date”.

“Jika perlu didatangi ke lokasi, tanyakan berapa jumlah pemeluk umat Buddha. Jangan terlalu mengandalkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan bergantung kepada kurangnya dana untuk menunjang pengumpulan data,” harap Rudi.

Pada sesi tanya jawab, mengemuka pertanyaan soal rumah ibadah seperti kelenteng. Belakangan rumah ibadah tersebut diklaim sebagai rumah ibadah Khonghucu, namun di berbagai daerah pun mencuat kelenteng sebagai rumah ibadah umat Buddha.

Persoalan ini menjadi menarik sebagai bahasan ke depan, karena Kementerian Agama hingga kini belum memiliki panduan jelas kriteria rumah ibadah bagi umat Khonghucu.

Menurut Rames Khan, peserta dari Sumatera Barat, sejak Khonghucu diakui sebagai agama, persoalan rumah ibadah kerap menjadi masalah.

Kelenteng yang digunakan untuk umat Buddha diklaim sebagai rumah ibadah Khonghucu. Tentu saja hal itu makin menyulitkan umat Buddha untuk membuat data.

“Itu baru berbicara rumah ibadah. Di berbagai daerah, identitas di Kartu Tanda Penduduk atau KTP tercatat sebagai agama Buddha tetapi mengaku sebagai Khonghucu,” katanya.

Ke depan, kata Rames, Kementerian Agama perlu membuat rumusan atau kriteria rumah ibadah bagi umat Khonghucu. Harapannya, jangan sampai mengganggu kehidupan yang sudah harmonis.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid