Jakarta, aktual.com – Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno mengatakan dengan perbaikan sistem penilaian akan memiliki dampak pada peningkatan proses pembelajaran.

“Penilaian itu dilakukan untuk perbaikan belajar, bukan untuk menjustifikasi ini siswa pintar atau ini siswa bodoh,” ujar Totok dalam diskusi dengan media di Jakarta, Selasa (17/12).

Menurut dia, yang berhak dalam menentukan apakah siswa itu lulus atau tidak adalah guru bukan sistem penilaian.

Hal itu pula yang mendorong Kemendikbud untuk mengganti format UN, yang diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Pelaksanaan UN tidak lagi dilakukan pada akhir jenjang melainkan pada pertengahan jenjang untuk setiap tingkatan.

“Mengapa asesmen atau penilaian, karena dapat memberikan cermin atau alat refleksi yang bertujuan agar guru tahu apa kekurangannya,” kata Totok.

Dengan mengetahui apa kekurangannya, guru dapat meningkatkan kompetensinya yang dibantu oleh pemerintah maupun sesama guru.

Tanpa adanya penilaian tersebut, guru sulit mengetahui apa saja kekurangannya karena tidak alat refleksi.

“Setelah adanya penilaian, akan berdampak pada perbaikan belajar,” kata dia.

Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan empat poin kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar” yakni penggantian format UN, pengembalian kewenangan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) ke sekolah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan naiknya kuota jalur prestasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari sebelumnya 15 persen menjadi 30 persen.

Untuk pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut berbeda dengan UN, yang diselenggarakan pada akhir jenjang. Untuk format penilaian baru tersebut, diselenggarakan pada pertengahan jenjang seperti kelas 4 untuk SD, kelas VIII untuk SMP dan kelas XI untuk SMA.

Dengan dilakukan pada pertengahan jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa. Penilaian itu dilakukan sejak jenjang SD, dengan harapan dapat mendeteksi sejak dini permasalahaan mutu pendidikan. (Eko Priyanto)

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin