Petugas Rumah sakit mendorong pasien di Rumah Sakit Umum (RSU) dr Slamet paska diterjang banjir bandang di Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/9). Pasca diterjang banjir bandang akibat luapan air sungai Cimanuk, Rumah Sakit Umum dr Slamet tidak melayani pasien baru bahkan peralatan perlengkapan RSU rusak dan sebagian pasien dipindahkan ke rumah sakit Guntur. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Surabaya, Aktual.com-Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) akan memoratorium pendidikan kebidanan guna meningkatkan kualitas lulusan perawat di masa mendatang.

Ditemui dalam Internasional Nursing Workshop And Conference (INC) bertema Professional Nursing Practice In Free Trade Era: Threat & Challenge, digelar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, di Surabaya, Rabu (7/12), Direktur Jenderal Ditjen Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristek Dikti Prof Ali Ghufron Mukti menilai, keberadaan tenaga perawat sangat potensial di berbagai negara.

Dirinya membandingkan dengan keberadaan bidan yang tidak bisa disalurkan hingga ke luar negeri. Untuk itu moratorium pendidikan kesehatan tidak dilakukan pada semua jenis.

“Kalau kebidanan sudah ada 300 prodi, tapi kualitasnya tidak maksimal. Makanya banyak juga angka kematian ibu. Karenanya kami dorong peningkatan kualiatas, apa lagi untuk perawat yang memiliki peluang di berbagai negara,” jelasnya.

Untuk peningkatan kualitas perawat, menurutnya tenaga pengajar juga harus dimaksimalkan. Salah satunya dengan memberikan pendidikan lanjutan pada perawat hingga S3 baik di dalam ataupun di luar negeri.

“Jumlah pendidik keperawatan berlatar belakang pendidikan S2 dan S3 di Indonesia juga masih minim dibanding besarnya jumlah penduduk. Di sisi lain jumlah lembaga pendidikan keperawatan besar. Artinya, jumlah kelulusan tidak linier dengan jumlah lulusan yang dihasilkan,” kata Prof Ali Ghufron menegaskan.

Sehingga pihaknya akan mendorong beasiswa perawat hingga luar negeri. Serta membuat standar piloting pendidikan perawat yang terdaftar dan diakui dunia menjadi 3 zona. Yaitu zona negara yang bisa menerima perawat asal Indonesia.

“Lulusan perawat bisa dikirim ke Asia Timur seperti Jepang, Hong Kong, Korea. Di zona Barat seperti Canada, Amerika Serika. Serta di Timur Tengah. Karena itu diperlukan kompetensi perawat internasional,” papar pria asal Blitar, Jawa Timur ini.

Kebijakan lain mempercepat ketersediaan perawat adalah dengan menambah jumlah Politeknik Kesehatan. Lulusannya diproyeksikan untuk “ekspor”. Hadir dalam workshop tersebut, delegasi lintas negara serta perwakilan Asosiasi Institusi Pendidikan ners Muhammadiyah-Aisyiyah (AIPNEMA) di Tanah Air.

Sekjen DPD Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Timur, Misutarno mengungkapkan banyaknya perkumpulan perawat dan lembaga pendidikannya memang tidak diimbangi dengan penerapan kualitas pendidikan. Sehingga pihaknya sebagai asosiasi perawat menerapkan koligium yang menjadi standar kemampuan perawat.

“Lulusan perawat sebelum terjun ke dunia kerja, tidak sekadar diharuskan mengikuti uji kompetensi. Mereka juga diwajibkan mengikuti pelatihan-pelatihan melalui kologium sebagaimana amanat Undang-Undang 38/2014 tentang Keperawatan. Ada enam koligium, di antaranya medical bedah, anak, kegawatdaruratan, jiwa dan lainnya,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara