Jakarta, Aktual.com — Kerjasama proyek pembangunan penampungan terminal Gas Alam Cair (LNG) di Bojonegara wilayah perbatasan Banten-Jawa Barat, antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Bumi Sarana Migas (BSM), dimana Pertamina hanya sebagai offtaker, berpotensi merugikan BUMN migas itu.

Sebab, kerjasama ini bukan hanya sarat konflik kepentingan (conflict of interest), tapi sengaja ada niat dan kepentingan dari bisnis mafia untuk menguntungkan BSM dan merugikan Pertamina.

“Bukan hanya ada conflict of interest, karena BSM milik keluarga JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla), tapi ini sudah permainan mafia dan pemburu rente migas. Ya soalnya skema bisnisnya memang merugikan Pertamina,” sebut Ketua Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, Arief Poyuono kepada Aktual.com, Rabu (4/5).

Menurut Arief, kalau memang skema kerjasama bisnisnya itu hanya akan memposisikan Pertamina lebih banyak menanggung biaya dan risiko bisnis dan Pertamina sendiri hanya menggenggam kepemilikan saham 15 persen, maka itu skema bisnis yang tidak wajar.

“Itu mirip bisnis mafia migas yang di belakangnya ada Kalla Group,” kecam Arief lagi.

Sehingga dalam kaca mata itu, kerjasama ini mirip seperti pembangunan stasiun pengisian bahan bakar elpiji dalam kapasitas besar yang menggunakan pipanisasi sebagai alat angkutnya menuju konsumen.

“Padahal kalau cuma seperti itu, kenapa Pertamina tidak ambil alih saja? Karena gampang saja kok dibangun dan dijalankan oleh Pertamina sendiri lewat anak perusahaannya, yakni Pertagas,” tandas Arief.

Perlu diketahui, proyek terminal LNG ini dikerjakan oleh Konsorsium BSM yang terdiri dari BSM, Tokyo Gas, Mitsui, dan Pertamina. BSM sendiri adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Bumi Sarana Utama (BSU/Kalla Group).

BSU berdiri sejak 1990 dan merupakan dealer aspal curah Pertamina untuk daerah pemasaran Sulawesi dan Kalimantan. Nantinya, operator terminal LNG Banten-Jawa Barat adalah PT Nusantara Gas Service. Komisaris Utama perusahaan operator itu (NGS) adalah Solichin Kalla.

BSM sendiri adalah perusahaan yang berada dalam naungan Kalla Group, yang saat ini dipimpin oleh Fatimah Kalla (adik Jusuf Kalla). Fatimah menjabat sebagai Direktur Utama BSM. Sementara anak JK, yakni Solichin Kalla menjabat sebagai Direktur. Selain itu, Solichin saat ini juga menjabat sebagai Komisaris di PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK).

Penandatanganan kerjasama dengan Pertamina untuk proyek senilai US$500 juta (sekitar Rp6,6 triliun) itu dilakukan oleh Solichin dan Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina, Yenni Andayani, disaksikan oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, pada awal April 2016 lalu.

Kerjasama ini memang agak janggal. Selain dilakukan tidak melalui proses tender, dalam arti Pertamina hanya mengikuti proposal yang diajukan BSM ini, pihak Pertamina juga banyak menanggung beban lain.

Seperti kewajiban membangun jaringan pipa gas sepanjang 150 kilometer dari Bojonegara ke konsumen itu ternyata harus ditanggung Pertamina. Juga ketika ada keterlambatan pasokan gas LNG kepada konsumen, lagi-lagi menjadi tanggungan Pertamina.

Belum lagi bicara komposisi kepemilikan saham dalam konsorsium tersebut, di mana Pertamina hanya menguasai 15% saham saja.

Artikel ini ditulis oleh: