Jakarta, Aktual.com – Gelombang kerusuhan yang meledak pada akhir Agustus hingga September 2025 menjadi luka baru bagi perjalanan demokrasi Indonesia pasca-Reformasi. Gerakan yang awalnya protes mahasiswa menolak kebijakan tunjangan hunian DPR, berubah menjadi rangkaian bentrokan berdarah, pembakaran, penjarahan, dan runtuhnya rasa aman di berbagai kota besar.
Sedikitnya sebelas orang tewas mengenaskan, ratusan luka-luka akibat peristiwa berdarah tersebut, dan untuk kerugian ekonomi ditaksir mencapai triliunan rupiah.
“Ini bukan sekadar kerusuhan, melainkan cermin rapuhnya demokrasi kita. Rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban paling nyata,” tegas Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) dalam pernyataannya, Kamis (4/9/2025).
Kerusuhan kali ini memperlihatkan pola berbeda. Tidak ada orator tunggal, tidak ada korlap, bahkan tidak ada panitia aksi. Gerakan berlangsung sporadis, desentralistik, dan viral. Media sosial menjadi katalis utama, mengingatkan pada pola leaderless movement seperti Occupy Wall Street atau protes Hong Kong 2019.
Pemicu utama kemarahan publik adalah kematian seorang driver ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob. Tragedi itu menyulut emosi masyarakat luas hingga massa lain bergabung tanpa perlu komando.
“HILMI menilai moral shock akibat kematian itu dimanfaatkan untuk memperluas eskalasi. Sayangnya, elite politik tidak cepat mengambil langkah empati yang tegas,” ujar HILMI.
Aktor di lapangan tidak homogen. Mahasiswa tetap menjadi garda moral, masyarakat marjinal ikut turun karena frustrasi ekonomi, sementara kriminal oportunis memanfaatkan situasi untuk menjarah.
Sejumlah dokumentasi juga memperlihatkan adanya penyusup dengan atribut mencurigakan, memunculkan dugaan infiltrasi aktor terlatih. Pola pembakaran gedung legislatif di beberapa daerah dinilai sistematis.
“Indikasi adanya infiltrasi ini menunjukkan kerusuhan tidak sepenuhnya spontan. Ada pihak-pihak yang sengaja mengail di air keruh,” ungkap HILMI.
Kerusuhan ini juga membuka tabir pertarungan elit pasca-pemilu 2024. DPR dipersepsikan serakah dengan tunjangan fantastis, sementara Presiden Prabowo merespons dengan mencabut kebijakan tersebut.
Faksi internal pemerintah disebut memanfaatkan instabilitas untuk memperkuat posisi tawar. Pengerahan TNI ke jalan memunculkan kekhawatiran kembalinya militer ke ranah sipil, sementara oligarki ekonomi dan jaringan lama rezim sebelumnya dinilai ikut memainkan peran.
“Kerusuhan 2025 ini pada dasarnya adalah pertarungan elite yang menjadikan rakyat sebagai korban. Ketika faksi politik dan kelompok ekonomi saling berebut pengaruh, masyarakat kecil yang kehilangan rasa aman, harta benda, bahkan nyawa,” kata HILMI.
Tidak ada satu dalang tunggal di balik peristiwa ini. Kerusuhan dipandang sebagai orkestra multi-aktor: rakyat dengan ledakan spontan, oposisi politik, faksi internal pemerintahan, aparat dengan peran operasional, hingga kepentingan asing yang diuntungkan dari melemahnya stabilitas nasional.
Kerusuhan 2025 menghadirkan paradoks. Oposisi memperoleh legitimasi baru, faksi internal memperkuat posisi, militer memperluas ruang peran, oligarki menekan pemerintah, dan negara asing meningkatkan pengaruh geopolitik. Namun rakyat tetap menjadi pihak paling dirugikan, kehilangan rasa aman, harta benda, bahkan nyawa.
“HILMI mengingatkan, selama elite terus bermain di atas penderitaan rakyat, bangsa ini akan terus terjebak dalam siklus kerusuhan. Rakyat menanggung biaya, sementara elite menuai keuntungan,” tegas HILMI.
Reporter: Andy Abdul Hamid
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















