Jakarta, Aktual.com – Peneliti ekonomi politik pertambangan, Salamuddin Daeng merasa prihatin atas ketidakberdayaan pemerintah untuk mengambil 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebagai bentuk divestasi.
Semakin mengherankan belakangan pemerintah terkesan frustrasi hingga mencari alternatif melalui rencana pembelian participating interest (PI) milik perusahaan Rio Tinto yang ada di PTFI dan akan diconfersikan menjadi saham. Padahal jelas-jelas divestasi 51 persen merupakan kewajiban bagi PTFI.
“Pemerintah tidak tegas, tampak frustasi lantaran gagal mencaplok 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Hal ini terlihat dari pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot pada 27 Desember 2017 yang lalu, bahwa pemerintah sedang memikirkan alternatif lain untuk membeli PI milik Rio Tinto, yang ada di Freeport,” kata dia secara tertulis, Rabu (3/1).
Namun sandiwara pemerintah di permukaan publik tampak sempurna, mengingat pada 29 Agustus 2017, Pemerintahan Jokowi yang diwakili Menteri ESDM, Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan bangga mengumumkan keberhasilan kesepakatannya terkait hasil negosiasi dengan PT Freeport Indonesia, yang diwakili langsung oleh CEO Freeport McMoran Copper & Gold Inc, Richard Adkerson.
Dalam pengumuman tersebut, dipaparkan telah tercapai tiga kesepakatan yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport. Di antaranya adalah kesepakatan bahwa Freeport menyepakati untuk melakukan divestasi 51 persen saham kepada pihak Indonesia. Tapi nyatanya hingga saat ini realisasi nihil samasekali.
Akan tetapi lanjut Daeng, ketidak berdayakan Indonesia pada Freeport tidak bisa disalahkan semuanya kepada pemerintahan saat ini. Menurutnya ketertundukkan Indonesia pada perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu tidak terlepas dari ‘perselingkuhan’ sosok mantan Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) era 1991 yakni Ginandjar Kartasasmita.
“Masalah saham Freeport yang melilit Indonesia saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari asal-usul kesepakatan sebelumnya, yakni Kontrak Karya di tahun 1991. Bung Karno menyebutnya ‘Jasmerah,’ yakni jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Apa yang terjadi saat ini adalah akibat saja dari sebab yang diciptakan di masa lalu,” tutur Daeng.
Menurut Daeng, sosok Ginandjar yang merupakan ‘good boy’-nya Amerika telah lama diincar oleh Freeport, yakni sejak Ginandjar menjabat Kepala BKPM (1985-1988). Lalu tangan Amerika bermain mengantarkan Ginandjar menjabat Mentamben
Setahun setelah Ginandjar Kartasasmita diangkat menjadi Menteri oleh Presiden Soeharto, Freeport Indonesia langsung mengajukan perpanjangan kontrak mereka di tahun 1989 dan meminta untuk memasukkan situs Grasberg sebagai lokasi pertambangan mereka.
“Sebetulnya Kontrak Karya tahun 1991 sangat strategis untuk meraih kedaulatan dan kemakmuran bangsa dari sektor tambang. Karena di 1988, Freeport menemukan cadangan emas senilai 40 milliar dollar AS di Grasberg, sekitar 3 kilometer dari lokasi tambang lama Ertsberg yang dikuasai sejak 1967 dan dieksploitasi 1970,” imbuhnya.
Dari sumber lainnya, disebutkan Grasberg menyimpan 72 juta ons emas murni, ditambah perak dan tembaga senilai sekitar 60 miliar dollar AS. Sedikitnya tiga kali lipat dari besarnya cadangan di Ertsberg.
Namun, Ginandjar mengamini saja, dengan embel-embel kenaikan pajak dan bagian saham lebih besar bagi Pemerintah Indonesia dari 10% menjadi 20%. Freeport pun menyetujui dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian Kontrak Karya pada 30 Desember 1991.
“Tentu tak ada makan siang yang gratis. Elite Indonesia yang tak punya karakter gampang dibeli, tentu dengan mudah mengobral kekayaan bangsa kita untuk dikuasai asing, dengan imbalan yang sangat murah,” kritik Daeng.
Menurut dia, Freeport Indonesia sangat paham dan mengimani bahwa mayoritas elite Indonesia telah mengubah dirinya sebagai komoditi yang bisa dibeli. Dari kontrak itu dia menduga Ginandjar Kartasasmita menerima imbalam besar.
Dalam catatan Daeng, perusahaan milik adik kandung Ginandjar, Agus Gurlaya Kartasasmita, yakni PT Catur Yasa konon pernah menang tender pembangkit listrik untuk kegiatan tambang di area Freeport.
“Di tengah kemiskinan rakyat, kini anak, cucu dan cicit Ginandjar dapat hidup foya-foya dengan uang hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, serta pesta pora dengan uang hasil mengobral kekayaan bangsa secara murah ke asing, lalu tampil seakan-akan bersih dari korupsi dan bebas dari suap,” pungkas dia.
Pewarta : Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs