Jakarta, Aktual.com – Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bukan semata ritual lima tahunan untuk regenerasi tampuk kepemimpinan. Pilpres adalah ajang kontestasi narasi dan festival gagasan. Para kandidat ditantang menawarkan ide terbaik sebagai peta menuju bangsa unggulan.

Sejauh ini, berbagai program telah ditawarkan. Narasi ekonomi masih dominan. Amat tinggi intensitas lontaran isu soal pengentasan kemiskinan, mengangkat kemakmuran dan kesejahteraan. Disajikan secara hangat dalam varian janji yang menawan. Bahkan didaulat sebagai program unggulan. Mulai dari janji menurunkan harga-harga, mencipta lapangan kerja, mengerek naik gaji, hingga wacana memangkas pajak kendaraan.

Panas dingin rivalitas pertarungan narasi ekonomi bahkan menggelegar ke pasar-pasar. Sentra ekonomi yang bisa merefleksikan situasi terkini dimana ekonomi masyarakat berakar. Adalah cawapres Sandiaga Uno versus Presiden Joko Widodo yang terlibat “traditional market war”. Mempertajam perang opini yang digelar.

Aktor utama Pilpres yang turjun langsung ke pasar-pasar tradisional membuktikan bila  narasi ekonomi adalah magnet paling mujarab di setiap ajang pesta demokrasi. Menguatkan kesan bila persoalan ekonomi masih dipandang sebagai problem utama pergumulan rakyat seantero negeri. Narasi ekonomi dilontarkan dengan ragam diksi dan artikulasi. Termasuk yang sarat nada pesimistik laksana krisis membayang-bayangi.

Peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz menilai dramatisasi isu yang diseret dari meja politik justru acap kali kontra produktif dengan agenda-agenda ekonomi. Kabut pesimisme yang terus diembuskan rentan memicu sentimen negatif pasar, membuat investor ragu dan tentu saja sekadar sebagai ajang adu argumentasi. Rakyat malah tidak menuai manfaat apa-apa dari perdebatan politik yang jauh dari esensi.

Optimis

Meski pertarungan opini tentang situasi ekonomi di tingkat elit berlangsung sengit, tampaknya masyarakat punya penilaian sendiri. Masyarakat optimis menatap masa depan ekonomi Indonesia. Hal itu terungkap oleh riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis baru-baru ini.

Dalam survei bertajuk “Kondisi Ekonomi Tentukan Pemenang Pilpres?” itu, sebanyak 70,3% responden menilai ekonomi dalam keadaan baik-baik saja. Optimisme tersebut menguat dibanding survei serupa yang digelar pada bulan Agustus. Tiga bulan lalu, sebanyak 62,5% responden mengatakan situasi ekonomi dalam keadaan baik.

Menariknya, jajak pendapat LSI ini senada dengan temuan LinkedIn. Jejaring sosial untuk kalangan profesional dan bisnis itu menggelar studi yang bertajuk “LinkedIn Opportunity Index”. Studi LinkedIn menjaring pendapat pengguna di berbagai negara emerging market dan negara maju, termasuk Indonesia.

Simpulan riset LinkedIn mandaulat Indonesia sebagai negara paling percaya diri nomor satu di dunia. Indonesia mengungguli India, China, Singpura hingga Jepang. Para profesional di Indonesia memandang peluang pengembangan karir di tanah air sangat menjanjikan. Penilaian tersebut didasari pada kondisi ekonomi saat ini yang bertabur peluang.

Ekonomi Indonesia memang relatif punya daya tahan meski dinamika global kurang menguntungkan. Terutama dampak dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang tampaknya akan panjang. Situasi ekonomi Indonesia di tengah dinamika tersebut misalnya terlihat dari mata uang Garuda yang perkasa. Rupiah bahkan menguat ke level Rp 14.200an. Pemuncak jajaran elit mata uang se Asia dengan penguatan paling tajam.

Milestone

Delapan tahun lalu merupakan momentum batu loncatan (milestone) bagi Indonesia dalam menatap masa depan ekonomi yang cerah. Masa depan bertabur optimisme yang juga diakui secara global. Tahun 2010, Indonesia dinobatkan sebagai pasar berkembang yang baru (new emerging market). Ditandai dengan pendapatan perkapita menembus angka keramat 3.000 USD.

Menurut proyeksi IMF, pendapatan perkapita Indonesia tahun 2018 sebesar 4.052 USD. Atau setara Rp 58,7 juta. Angka itu memang bukan yang terbaik di lingkup Asia Tenggara. Bahkan hanya 1/15 dari nilai pendapatan perkapita Singapura sebagai yang tertinggi di kawasan

Namun secara agregat, size ekonomi (GDP) Indonesia jelas bernilai super jumbo. Paling monumental ketika GDP Indonesia menembus angka sakral 1 triliun dolar yang dicapai akhir tahun 2017. Predikat one trillion dollar club menandaskan bahwa ekonomi Indonesia menjanjikan. PricewaterhouseCoopers bahkan mengadang-gadang Indonesia sebagai Top 5 dalam jajaran World Largest Economiest tahun 2030 mendatang. Diperkirakan naik ke posisi keempat pada tahun 2050.

Berbagai predikat yang disematkan kepada ekonomi Indonesia adalah acuan memandu arah bangsa ke masa depan. Penilaian, pujian maupun kritik lingkungan global dibutuhkan untuk memperkaya isi dialektika demokrasi kita. Memperkuat narasi di tengah agenda regenerasi kepemimpinan.

Pasalnya, proyeksi sebagai masa depan ekonomi dunia bermakna bila bejibun hal yang perlu dipersiapkan. Meruah sektor ekonomi menanti dibenahi. Banyak yang harus dikerjakan. Tanggungjawab bagi mereka yang berada di (atau memperebutkan) tampuk kekuasaan.

Seperti pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot. Agenda yang mestinya dikerjakan sepuluh tahun yang lalu. Namun meski terlambat, upaya memenuhi kebutuhan infrastruktur telah terlihat dan diraskan langsung dampaknya.

Bahkan membuka peluang-peluang ekonomi baru di daerah. Di tengah trend perdagangan elektronik yang naik daun, infrastruktur dan logistik memiliki peranan vital dalam alur mobilisasi barang. Mempengaruhi daya saing industri digital.

Bank Dunia mencatat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia membaik signifikan. Merangsek ke posisi 46 secara global. Padahal, tahun 2010 LPI Indonesia masih berada di posisi 79. Indonesia naik 29 peringkat dalam rentang delapan tahun.

Perlu dicatat, infrastruktur adalah kunci membuka potensi-potensi pertumbuhan ekonomi di negara emerging market. Infrastruktur aspek vital untuk mengakselerasi orkestra pembangunan. Infrastruktur memintal jalinan konektivitas antar wilayah dan jembatan menebarkan pemerataan. Ringkasnya, infrastruktur menjadi fondasi untuk scale up ekonomi Indonesia ke level negara maju seperti diidam-idamkan.

Akhirnya, agenda politik lima tahunan harus mampu mengobarkan api optimisme. Dinamika sengit memperebutkan dukungan rakyat bukan untuk saling menegasi. Namun merupakan ajang penguatan narasi ekonomi. Momentum konsolidasi energi anak negeri. Pijakan Indonesia agar melompat lebih tinggi.

 

Oleh : Jusman Dalle

(Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital)