Kalau saya diminta menyebut segelintir penulis Indonesia yang hebat, salah satu nama yang tak bisa saya lewatkan adalah Mochtar Pabottingi.

Saya sudah mengaguminya sejak aktif menggeluti budaya kepenulisan masa kuliah S1, bahkan ketika belum mengerti keseluruhan untaian kalimat tulisannya. Pilihan-pilihan diksinya istimewa. Kandungan pesannya berbobot. Sudut pandangnya khas. Artikulasinya jernih. Referensinya selalu terbarukan.

Kelak, Tuhan mempertemukan sang pengagum dengan idolanya sebagai peneliti di LIPI. Sejak itu, kendati jarak fisik berjauhan, kami punya ikatan batin yang kuat. Kami tidak selalu sependapat dalam beberapa isu dan sudut pandang, namun saya tak pernah kehilangan respek padanya. Begitupun beliau, dengan segala kerendahan hatinya, tak pernah lupa meninggalkan pesan via aplikasi WA atau FB, sekiranya beliau merasa perlu memberikan apresiasi atas tulisan saya.

Berikut, sebagian pesan singkatnya.
“Bung Yudi Latif yang baik. Karya-karya Bung selalu harus dihadapi dengan kesungguhan sepatutnya. Tulisan-tulisan Bung senantiasa memiliki dimensi kedalaman dan keluasan intelektual. You are one of the best intellectuals at least during twenty years.”

Ia juga tak lupa berpesan.
“Dearest Bung Yudi, teruslah menulis. Itu serupa oasis atas kegersangan yang kini menyelimuti bangsa kita. Suara Bung selalu berkiblat pada kemurnian suara para Pendiri Bangsa yang sesungguhnya menggugu dan terpancar dari suara kenabian. Semoga Allah selalu melimpahi Bung sekeluaga dengan Rahmat dan KasihNya!”.

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin