Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, semangat ketuhanan yang memijarkan keberanian rela berkorban dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan menjelma dalam sosok Jenderal Soedirman.
Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 24 Januari 1916, Panglima TNI pertama pada usia 29 tahun itu memulai studinya di HIS, terus ke MULO, dan berujung di Sekolah Guru Bantu Hollandsche Indische Kweekschool, meski sekolahnya yang terakhir ini tidak sampai tamat.
Perjumpaannya dengan tokoh Muhammadiyah Cilacap, R. Mohammad Kholil, mengantarkan Soedirman menjadi guru sekolah dasar di HIS Muhammadiyah Cilacap.
Sewaktu bersekolah di MULO, Soedirman mulai mendapatkan kesadaran nasionalisme dari guru-guru yang kebanyakan aktif di organisasi Budi Utomo. Di kelas, selain bersemangat mempelajari ilmu-ilmu umum, ia juga tekun belajar agama.
“Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Semasa itu pula ia mulai bergiat dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan, di bawah bendera Muhammadiyah, hingga mencapai tahap “Menteri Daerah” (setingkat Ketua Kwartir Daerah). “Watak disiplin dan tanggung jawab yang Soedirman miliki hingga menjadi Panglima Besar awalnya dipupuk di Hizbul Wathan,” ujar ahli sejarah TNI, Saleh Djamhari.
Sebelum memutuskan bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA), Soedirman sesungguhnya tidak dalam kondisi yang ideal untuk menjadi seorang tentara.
“Saya cacat, tak layak masuk tentara,” ujar Soedirman. Kaki kirinya pernah terkilir saat bermain sepak bola, yang membuat tulang lututnya bergeser. Saat ia mengutarakan tekadnya masuk PETA kepada istrinya, Siti Alfiah, sang istri mengingatkan soal kakinya dan penglihatan mata kirinya yang kurang terang.
Namun tekad Soediman telah bulat, “Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya. Saya harap Ibu berhati mantap,” ujarnya. Ia masuk PETA angkatan kedua pada 1943 sebagai calon daidancho (setingkat komandan batalion), dan tak lama kemudian mengantarkannya menjadi daidancho Kroya.
Di masa revolusi kemerdekaan, pada 12 November 1945, Soedirman yang berpangkat kolonel terpilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR)—dalam perkembangannya menjadi Tentara Nasional Indonesia, dan secara resmi dilantik oleh Presiden Soekarno pada 18 Desember 1945.
Dalam kedudukannya sebagai Panglima Besar, tak lama kemudian pangkatnya melesat menjadi seorang jenderal. Pembawaannya yang tenang dan kharismatik membuatnya sangat berpengaruh di lingkungan tentara.
Keberaniannya memperjuangkan kebenaran dan keadilan teruji menyusul Agresi Militer Belanda II, yang menyerbu Yogyakarta pada pagi hari 19 Desember 1948. Saat itu, kondisi kesehatannya buruk. Sudah tiga bulan ia beristirahat karena penyakit tuberkolosis (TBC) paru-paru yang dideritanya; dan baru empat hari sebelumnya, ia keluar dari rumah sakit setelah menjalani operasi.
Namun, panggilan Ibu Pertiwi membuatnya segera bangkit. Pada pagi itu pula, ia segera memerintahkan ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam, untuk mengumumkan Perintah Siasat Nomor 1, tentang strategi gerilya yang harus dilakukan TNI.
Ia juga meminta Soepardjo untuk menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung, Malioboro, untuk menyampaikan pesannya agar Presiden Soekarno segera meninggalkan Yogyakarta.
Menunggu kabar dari Soepardjo yang tak kunjung tiba, Soedirman segera bangkit dari pembaringannya, memaksakan diri untuk menemui Presiden Soekarno secara langsung. Beliau hendak meminta Presiden dan pejabat lain untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya.
Tetapi, Soekarno dan Hatta rupanya punya perhitungan lain, sehingga memutuskan untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Soekarno meyakinkan Soedirman bahwa keadaan bisa diatasi.
“Tidak ada sesuatu yang penting. Pulang saja, istirahat,” ujar Soekarno, seraya meminta dokter Soewondo untuk merawat Soedirman.
Soedirman menolak bujukan Presiden Soekarno untuk tetap tinggal di Yogyakarta. “Dia punya sumpah tidak kenal menyerah,” ujar ahli militer Salim Said. “Soedirman paham, selaku pemimpin militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando negara,” ujar Saleh Djamhari.
Dalam kondisi sakit, ia memutuskan pergi untuk memimpin gerilya. “Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit,” ujarnya. Dengan separuh paru-paru ia memimpin perang gerilya. Selama delapan bulan, sambil ditandu, ia keluar-masuk hutan di sepanjang rute gerilya yang membentang dari Yogyakarta, Kediri, hingga Pacitan.
Kisah Panglima Besar Soedirman yang meski dalam keadaan sakit tidak henti bergerilya telah menjadi teladan tersendiri tentang semangat juang dan semangat berkorban demi Nusa-Bangsa. Demi perjuangan Tanah Air yang dicintainya, Soedirman sampai pernah meminta perhiasan istrinya, Siti Alfiah, untuk ditukarkan dengan makanan bagi keperluan makanan tentara yang dipimpinnya.
Heroisme Soedirman ini melambungkan moral kejuangan di kalangan tentara dan rakyat, meluaskan medan pertempuran ke berbagai wilayah Tanah Air. Sebagai jurus pamungkas, Soedirman memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin Serangan Umum ke Yogyakarta pada 1 Maret 1949, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Serangan Umum ini berhasil dengan gemilang, yang membantu usaha diplomasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (Tempo, 2012).
Kerelaan berkorban, dengan kesanggupan mengenyampingkan egoisme juga tercemin dari kebesaran jiwanya menyusul Perjanjian Roem-Roijen yang menimbulkan kekecewaan banyak kalangan. Panglima Besar Soedirman merasa perjanjian itu tidak sepantasnya dilakukan karena pemerintah yang mengirim utusan sedang dalam masa pengasingan dan penahanan Belanda di Bangka.
Jenderal Soedirman yang terus memimpin perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia seakan ditinggalkan. Begitu juga dengan Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Dengan perjanjian tersebut, kewenangan pemerintahan yang ada pada dirinya seakan diabaikan.
Namun, dengan semangat rela berkorban demi kepentingan umum, ganjalan psikologis dan perbedaan pandangan itu bisa diselesaikan. Sejarawan Taufik Abdullah melukiskan dengan indah semangat itu ketika ia menulis, “Betapa pun pahit yang dirasakan Sjafruddin dan Soedirman, mereka datang juga. Mereka memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu perjuangan bersama yang harus dimenangkan. Mereka memilih kembali, demi keutuhan perjuangan.”
Dalam peristiwa itu, Soedirman benar-benar membuktikan konsistensinya dengan apa yang pernah ia katakan dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Panglima Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Dalam pidatonya itu, ia menegaskan sesuatu yang penting sebagai landasan pedoman perjuangan TNI kemudian: “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup Tentara teguh memegang kewajibannya ini. Lagi pula, sebagai Tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada Pimpinan atasannya, dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkannya. Harus diingat pula, oleh karena negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh Tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerjasama seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar Tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga. Tunduk kepada perintah pimpinannya, inilah yang menjadi kekuatan suatu Tentara.”
Dengan jiwa religius yang lapang, Soedirman lebih mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan umum di atas kenyamanan pribadi. Kepada para pemimpin dan prajurit setabah gembala ia pun berpesan: ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)
Artikel ini ditulis oleh: