Ketika wajah pahlawan nasional KH Idham Chalid ditetapkan sebagai gambar di mata uang kertas Rp 5.000 –sesuai keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2016– ada tiga yang terwakili di sana. Pertama, umat Islam. Kedua, warga Nahdlatul Ulama (NU). Dan ketiga, warga Kalimantan (Banjar). Meski urusan keterwakilan ini mungkin dirasa remeh di Jakarta, bagi warga daerah ini adalah hal yang sensitif.
Dari sekian banyak tokoh NU yang menjadi politisi, Idham Chalid menempati posisi tersendiri. Dia adalah Ketua Umum PBNU pertama yang tidak “berdarah biru.” Dia juga tidak ingin membangun dinasti politik. Jadi, menurut putranya M. Saiful Hadi, meski Idham Chalid sudah malang melintang di dunia politik, dia lebih suka anaknya tidak terjun ke politik.
Idham adalah politisi yang selalu mempertahankan visi NKRI dan nasionalis-religius. Ia menjadi pahlawan bukan karena karir politisinya, tetapi karena pernah menjadi gerilyawan pro-Republik di Kalimantan. Meski asal Kalimantan, ia tak pernah mau menonjolkan kedaerahannya. Ketika anaknya menikah, Idham tidak mau memakai pakaian adat daerah, tapi hanya mengenakan kopiah dan jas.
Idham Chalid lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921. Ia adalah salah satu politisi yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah NU (1956-1984).
Idham adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, adalah penghulu asal Amuntai, yang jaraknya sekitar 200 km dari Kota Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Cerdas dan Pemberani
Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk Sekolah Rakyat (SR), ia langsung duduk di kelas dua. Bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikan ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada 1922. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapat banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.
Lalu Idham melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Perancis. Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta.
Di ibukota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama Nahdlatul Ulama.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hasan Basry, yang juga muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan.
Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.
KH Abdul Wahab Hasbullah
Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di Gerakan Pemuda Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang 1952-1955, Idham yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Hasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara. Idham konon sangat disayang oleh KH Wahab. Saking sayangnya, saat Idham tidur kedinginan di lantai, surban KH Wahab digunakan menutupi tubuh Idham sebagai selimut.
Pada Pemilu 1955, NU meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar itu, pada pembentukan kabinet 1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, NU mendapat jatah lima menteri. Itu termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid.
Pada Muktamar NU ke-21 di Medan, Desember 1956, Idham terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Saat dipercaya menjadi orang nomor satu NU, ia masih berusia 34 tahun. Jabatan tersebut dipegangnya hingga 1984, dan menjadikan Idham orang terlama yang menjadi Ketua Umum PBNU, selama 28 tahun.
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun, Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden 1959. Idham lalu ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi Wakil Ketua MPRS.
Pertengahan 1966, Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II, dan Kabinet Pembangunan I yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat.
Kemudian, di akhir 1970 dia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial. Ia melanjutkan tugas dari mendiang A.M. Tambunan, yang wafat pada 12 Desember 1970, sampai terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada 1973.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses pada Pemilu 1971. Namun, setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga: Golkar, PDI, dan PPP. NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid menjabat Presiden PPP sampai 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI sampai 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham adalah Ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai 1983.
Idham selalu mengajarkan kesederhanaan. Ketika menjabat Ketua DPR dan MPR, ia sering “blusukan.” Tidur kalau malam di masjid, di rumah-rumah penduduk. Ketika jadi menteri, meski membawa mobil, ia juga sering masuk ke kampung-kampung. Cita-citanya adalah mendirikan sekolah, yang akhirnya terkabul dengan berdirinya Sekolah Darul Maarif di Cipete. Ia berpesan pada anaknya, agar sekolah itu jangan dikomersialkan.
Sekolah itu menampung anak orang miskin dan anak yang tidak pintar. Karena, kalau miskin tapi pintar, masih bisa mendapat bea siswa. Lantas, bagaimana dengan anak yang miskin dan tidak pintar, yang seharusnya juga berhak untuk sekolah. Saat ini sekolah itu menampung anak tukang ojek, sopir bajaj, tukang sampah, tukang sayur, dan sebagainya.
Idham meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010, pada usia 88 tahun. Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional, bersama enam tokoh lain, pada 7 November 2011. Ia merupakan putera Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional, setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry.
(Dirangkum dari berbagai sumber)
Artikel ini ditulis oleh: