Penulis: Abdul Muein Abadi | Peneliti PhD Universitas Leiden, Belanda
BANYAK yang tidak menyadari bahwa umat Islam saat ini memiliki seorang pemimpin dengan status ‘khalifah tidak resmi’ yang telah berhasil mengimbangi arogansi material, militer dan ideologi Barat.
Pemimpin tersebut berhasil menjadi penyeimbang diantara kekuatan militer AS dan Rusia, menangani sanksi ekonomi AS, membangun perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara Muslim (termasuk Malaysia), mengupayakan stabilitas Suriah dan Libya, serta memperjuangkan pembebasan Palestina dari tangan Zionis.
Baru-baru ini, sang pemimpin kembali ke garis depan untuk membela kemuliaan Nabi Muhammad SAW yang agung dari penghinaan terus-menerus pemimpin sekuler Prancis, Emmanuel Macron. Pemimpin Islam itu adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah hampir 100 tahun yang lalu, umat Islam di seluruh dunia memang seperti anak ayam yang kehilangan induk mereka.
Terlepas dari kekayaan sumber daya, populasi dan wilayah yang sangat besar, umat Islam terus menjadi jajahaan kaum imperialis, baik jajahan Portugis, Prancis, Inggris, Belanda, jajahan ideologi komunis Soviet dan saat ini mayoritas dijajah oleh hegemoni AS.
Martabat dan wilayah umat Islam diinjak-injak oleh kaum imperialis, sampai-sampai sebagian umat Islam sendiri merasa malu dan terhina dengan Islam, Alquran, sunnah dan ulama.
Selama absennya khalifah, kiblat pertama umat Islam di Masjid al-Aqsa, Baitul Maqdis Palestina diduduki oleh Zionis Yahudi. Secara bersamaan, wilayah dan hasil bumi umat Islam dieksploitasi dan dibagikan di antara kaum imperialis dengan bantuan senjata dan dukungan segelintir kaum munafik lokal yang hanya mendapat bagian kecil.
Pandangan dunia Islam pun kemudian digantikan oleh pandangan dunia sekuler yang didominasi materi tanpa pertimbangan pahala dosa. Akibatnya, kekuatan sistem keuangan AS dengan ‘petrodollar’ yang menggantikan sistem patokan nilai uang terhadap nilai emas Bretton Woods membuat mayoritas pemimpin dunia Islam pasca-Khilafah ibarat sapi-sapi yang kenyang.
Berjuang
Kombinasi hasil persekongkolan untuk berinvestasi dalam sistem riba ‘petrodolar’ dan diperkuat dengan dukungan politik dan militer Barat, –meskipun catatan hak asasi mereka buruk– membuat para pemimpin umat Muslim ini tuli dan buta terhadap penjajahan sistematis Zionis dan penghinaan Islam yang terjadi terus menerus, termasuk soal gambar Rasulullah SAW.
Namun, hari ini Erdogan menebus ‘dosa’ para pemimpin Muslim pasca Khilafah. Tidak hanya beretorika, Presiden Turki telah bertindak sebaik-baiknya melalui kekuatan ekonomi, politik dan militer. Terlepas dari semua masalah dalam sistem sekuler Turki yang diwarisi oleh Kamal Attaturk, ditambah dengan hegemoni global AS pasca-Perang Dingin, Erdogan dengan ijtihad politik berhasil menerjemahkan visi Islam ke dalam kebijakan luar negeri Turki sejak 2003 lalu.
Erdogan mengecam Perdana Menteri Israel di Forum Ekonomi Dunia dan tanpa henti memperjuangkan nasib Palestina di PBB. Dia juga ikut berupaya membangun Irak pasca-Bush, bekerja untuk stabilitas politik di Libya, Suriah dan tentu yang terbaru di Siprus Utara dan Azerbaijan.
Status kekhalifahan tidak resmi Erdogan itu juga diterjemahkan ke dalam dimensi sosial-budaya. Jika beberapa bulan lalu, Erdogan berhasil mengembalikan status situs bersejarah Hagia Sophia di Istanbul sebagai masjid, belakangan ini dia juga tak tinggal diam dengan sikap hipokrit Macron. Presiden Turki tersebut mengkritik presiden Prancis lantaran dianggap ‘membutuhkan perawatan mental’ karena sikap permusuhannya terhadap Islam. Erdogan bahkan juga mengerahkan upaya memboikot produk Prancis.
Karena itulan, saat ini, setidak-tidaknya kita sudah memiliki ‘suara’ seorang khalifah tidak resmi yang berani memperjuangkan kepentingan strategis dan martabat umat Islam.
Seperti halnya Salahuddin al-Ayubi yang tidak meminta untuk diakui sebagai khalifah umat Islam meski berhasil membebaskan Baitulmaqis dari penjajahan Tentara Salib, demikian pula sikap Erdogan yang sedang kita saksikan hari ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson