Tokoh Nasional Rizal Ramli saat hadir pada acara seminar dengan tema "Renstra Apperti di Era Digital Disruption Konsistensi Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Kerusakan Karakter Manusia di Perguruan Tinggi" yang diselenggarakan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (Apperti) di Kampus Universitas Yarsi Jakarta, Jumat (5/1). Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan, perguruan tinggi di Indonesia harus mulai tidak hanya terfokus pada formalitas seperti akreditasi atau sekadar mengejar angka sertifikasi dosen saja. Namun hal yang lebih utama adalah membangun budaya akademik. Apperti juga mengangkat  Rizal Ramli sebagai Dewan Penasehat. AKTUAL/HO

Jakarta, Aktual.com – Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli memang banyak melakukan pembenahan di beberapa BUMN. Selain terhadap PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, dia juga melakukan terhadap IPTN yang kemudian berubah nama PT Dirgantara Indonesia (Persero).

Menurut Rizal, cerita untuk membenahi IPTN, perusahaan yang sempat dikreasi oleh BJ Habibie itu, saat dirinya masih menjabat sebagai Kepala Bulog. Semula dia mengira hal itu sebagai kesalahan, tapi tidak.

“Saya berpikir, ini salah orang atau tidak? Ternyata tidak. Dan kata Gus Dur kalau ada yang membantah tinggal kasih nomor telepon saya,” ungkap Rizal menirukan kalimat Gus Dur, dalam diskusi di Jakarta, ditulis Kamis (11/1).

Dengan titah Gus Dur itu, kata dia, dirinya melakukan restrukturisasi utang perusahaan. Dia juga mempekerjakan pekerja lepas dari Airbush dan Boeing. Kemudian, dia juga mengganti direksinya dengan yang muda-muda.

“Dengan begitu, saya juga ganti namanya dari PT IPTN menjadi PTDI (Dirgantara Indonesia),” kata dia.

Ternyata cara yang dia lakukan berhasil. Dalam dua tahun, yang semula sebagai perusahaan yang merugi menjadi memiliki profit hingga double digit.

Dia bercerita, ternyata ada kiat yang dirancang yakni dengan melepas beberapa sahamnya ke beberapa pimpinan di Asia Tenggara. Seperti Mahatir Mohamad (Malaysia), Taksin Sinawatra (Thailand), dan Sultan Hasanal Bolkiah (Brunei).

“Dari pelepasan saham itu didapat 500 juta USD. Tapi maksudnya bukan hanya jual saham ke asing. Tapi lebih ke pemasaran. Karena orang Indonesia ini pintar tapi pemasarannya rendah,” kata dia.

Dia sendiri belajar dari kasus Airbush. Waktu perusahaan asal Prancis tersebut hanya sebagai perusahaan kecil. “Tapi begitu dilepas beberapa sahamnya ke Jerman dan Belgia, maka orang Eropa merasa Airbush itu buatan kita. Itu pun terjadi ke kita. Banyak dari Asia Tenggara ini pesan perlengkapan pesawat ke PTDI,” cerita dia.

Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: