Kisah ini, lanjut Haris, sangat inspiratif, lantaran selalu saja ada manusia dengan peran seperti Brutus, pada setiap periode kekuasaan di mana pun. Contohnya Ginandjar Kartasasmita, dalam periode akhir Rezim Soeharto.

Mencegah kediktatoran, tuturnya lagi, adalah suatu alasan yang klise, kamuflase semata. Bukankah anggota-anggota Senat Roma yang berkonspirasi dalam pembunuhan terhadap Julius Caesar, juga adalah orang-orang yang mengkhianati rakyat dan menjadi kaya raya karena korupsi dan pengkhianatan terhadap negaranya.
“Dengan kelicikannya, Ginandjar menumpangi gerakan mahasiswa tahun 1998 bagaikan mandi di dalam kolam yang bersih. Wajah dan tubuhnya yang tadinya dilumuri lumpur korupsi dan kotoran pengkhinatan menjadi bersih kembali, tampil seakan akan pahlawan,” tegas dia.
Eksponen gerakan mahasiswa 1998 di Yogyakarta tersebut menilai Ginandjar penerus Brutus, karena harta kekayaannya diduga diperoleh dari kejahatan korupsi dan pengkhianatan terhadap negara.
Sebagaimana Brutus, pengkhianatan Ginandjar ke Soeharto sesungguhnya tidak untuk membela kepentingan rakyat dan negara. Tetapi dilakukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri, yang mengatasnamakan rakyat dan reformasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta