Dari desa asalnya, Tompu Lawe, di Maungdaw, Myanmar, ia bersama kedua orang tua serta empat saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya meninggalkan kampung halaman mereka untuk selamanya.

Babak baru “Saya masih selalu merindukan kampung halaman saya,” kata Emam seraya mengenang masa-masa sulitnya tersebut.

Saat ditemui, Emam mengenakan jas hitam ke-abu-abuan dan warna celana yang senada.

Emam yang kini berusia 32 tahun itu sudah berhasil menjadi seorang dokter.

Emam juga beraktivitas dan berbaur dengan masyarakat lain meskipun masih tinggal di kamp pengungsian bersama istri dan kedua putranya. Istrinya juga dari etnis Rohingya.

Saat menceritakan bagaimana seorang bocah pengungsi seperti dia bisa sukses menempuh pendidikan hingga menyandang gelar dokter, Emam meminta wawancara yang jauh dari keramaian. Ia mewanti-wanti agar tidak ada orang Bangladesh yang mendengar obrolan kami.

Emam juga menolak untuk diambil gambarnya.

“Tidak aman bagi saya. Kalau mereka sampai tahu saya Rohingya (terutama pemerintah), mereka akan menahan saya,” kata Emam.

Emam merupakan segelintir dari pengungsi Rohingya yang berhasil mendapatkan kartu kependudukan Bangladesh (NID). Ini lah yang kemudian membuat dia bisa membaur, tidak seperti pengungsi lain yang banyak memiliki keterbatasan.

Meski demikian, Emam tidak bisa benar-benar bebas. Ia harus menjaga identitasnya sebagai seorang pengungsi Rohingya yang memiliki NID dari orang-orang Bangladesh.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby