Jakarta, Aktual.com – Imam al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang pandai berhujah, setiap hujah yang ia sampaikan selalu tidak bisa dibantah lagi oleh kaum-kaum yang menyerang Islam. Bahkan, ia dijuluki sebagai Hujjatul Islam.
Sebab kepandaiannya itu dikarenakan sewaktu muda ia berkelana mencari kebenaran dari beberapa golongan yaitu para Mutakalimin (teolog), kaum Bathiniyah (kebatinan, kelompok filsuf dan golongan sufi.
Dari pertemuannya dengan keempat golongan ini, Imam al-Ghazali mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.
Dalam pertemuannya dengan mutakalimin, Imam al-Ghazali berkata, “Kebanyakan wacana yang dikembangkan oleh para ahli kalam adalah persoalan bagaimana merumuskan tanggapan atas lawan-lawan polemiknya dan melecehkan mereka dengan menggunakan postulat-postulat mereka sendiri,”
Inilah tujuan ilmu kalam. Sedangkan tujuan Ghazali adalah mengetahui hakikat kebenaran agama yang didukung oleh akal sehingga sampai pada tingkat kepastian, dalam detail dan kejelasannya.
Setelah mempelajari maksud, tujuan dan metodologi kaum mutakalimin dalam mempelajari agama, walaupun semua itu tidak membuatnya puas. Lalu, Ia berangkat menuju kaum filsafat.
Untuk meneliti kaum filsafat, Ghazali melihat kajian mereka, yang menampilkan tema-tema akidah, terutama pada upaya rasional mereka, bisa mendapatkan sesuatu yang bisa memastikan validitas doktrin yang mereka anut. Tapi, Imam al-Ghazali justru mendapatkan banyak sekali kontroversi di dalamnya.
Karena banyaknya kontroversi-kontroversi yang mereka anut, sehingga Imam al-Ghazali membuat buku terkait dengan kerancuan berpikir mereka yang diberi judul Tahafut al-Falasifah.
Setelah bertemu dengan kaum filsafat, ia melanjutkan pengembaraannya untuk bertemu kelompok Bathiniyah. Imam al-Ghazali tertarik dengan ajaran yang dibawa oleh kelompok ini. Sebab, mereka mengambil ajaran-ajaran agama dari al-Imam al-Ma’shum (imam yang suci) yang memperolehnya dari Allah melalui perantara Nabi.
Akan tetapi, sosok yang ia ingin cari ini justru tidak pernah ditemukan sampai wafatnya Imam al-Ghazali. Dengan begitu, jelas bahwa orang-orang dalam kelompok ini telah tertipu dan sang Imam tidak ada di dalam dunia nyata.
Ghazali pun membuat banyak karangan yang membantah secara jelas kelompok ini. Setelah itu, ia menuju ke golongan sufi. Mereka mengatakan bahwa mampu menyingkap kasyf (tirai), melihat dan berhubungan langsung dengan alam malakut, mengambil pengetahuan langsung darinya serta bisa mengetahui Lauh al-Mahfuz berikut rahasia yang dikandungnya.
Akan tetapi, Ghazali masih bertanya-tanya bagaimana cara ia mampu menyingkap semua itu. Golongan sufi menjawabnya dengan senantiasa melakukan ilmu yang dibarengi dengan amal.
Imam al-Ghazali menuruti perintah mereka sehingga dengan hal tersebut mengantarkannya pada sikap meninggalkan popularitas yang disandangnya, keadaan serba tertata yang sepi dari kesusahan hidup dan jaminan perlindungan yang terjada dari ancaman musuh.
Setelah bertemu dengan golongan sufi, barulah imam al-Ghazali menemukan kebenaran-kebenaran dalam agama. Pencariannya terhenti di kelompok ini.
Imam al-Ghazali berkata, “Menyendiri di dalam Zawiyah dengan membatasi diri hanya pada ibadah wajib dan sunah, duduk dengan hati yang hampa, dengan himmah yang terkumpul dan berkonsentrasi dengan zikir kepada Allah Swt.”
“Hal itu dapat dilakukan dengan terlebih dulu membiasakan lisan untuk berzikir kepada Allah sehingga tak henti-hentinya mengucapkan, ‘Allah… Allah…’ yang disertai dengan penghadiran hati,” lanjutnya.
Imam al-Ghazali mempraktekkan metode ini. sehingga ia berkata, “Tersingkaplah kepadaku perkara-perkara yang tidak mungkin dihitung dan dirinci. Ukuran yang bisa saya sebutkan untuk dipahami bahwa saya menyakini kalau kaum Sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah secaara khusus,”
Itulah kisah pertemuannya dengan beberapa kelompok penganut ajaran Islam untuk mencari dan menyingkap kebenaran agama yang selama ini ia cari.
Waallahu a’lam
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain