Diantaranya Magnum Sanur, Magnum Berawa, Magnum Alam dan beberapa project lainnya. Besarannya adalah 34 persen atau kurang lebih Rp 500 milyar yang dicicil secara bertahap. Namun setelah enam bulan berjalan, PT SUP yang bekerjasama dengan PT Magnum Estate International sebagai pihak operation penjualan, telah memberikan properti sebagai jaminan dan pembayaran ke Budiman Tiang sebesar kurang lebih Rp 145 miliar.

Setelah itu, lanjut Hendrikus, tidak lagi mau menyetor sesuai kesepakatan pembelian saham 34 persen sebesar kurang lebih Rp 500. PT SUP dan Magnum Estate justru menganggap perjanjian hitungan saham One Umalas terlampau mahal dan ketinggian hingga dianggap dengan jaminan senilai Rp 145 miliar tersebut dianggap sudah lunas.

Padahal kesepakatan penjualan Rp 500 miliar ditandatangai bersama dan sudah diregister di notaris. Namun PT SUP bersama PT MEI justru mengingkarinya sendiri. Disitulah kemudian memicu konflik hukum.

“Sejak penjualan saham 2,5 tahun lalu, semua project tidak selesai padahal ratusan investor sudah resah karena waktu serah terima sudah jatuh tempo. Sedangkan untuk kondisi proyek, hampir semua mangkrak dan tidak berizin lengkap,” kata Hendrikus.

“Atas dasar hal tersebut pihak Budiman Tiang mengganggap PT SUP dan Magnum Estate International telah melakukan wanprestasi (ingkar janji) dan digugat di Pengadilan Negeri Denpasar,” sambungnya.

Kerjasama operasional PT SUP pengelolaan The One Umalas dengan PT Magnum Estete International disampaikan melalui akte Nomor 34 tahun 2021 tertanggal 28 Desember 2021. Dari kerjasama ini pula mulai timbul masalah demi masalah. Dimana mulai menciptakan skenario untuk menyingkirkan Budiman Tiang.

Caranya dilakukan dengan memaksa secara kasat diluar cara-cara hukum untuk bisa mengambilalih management One Umalas yang telah dari awal dikelola oleh Budiman Tiang. Pihak PT MEI sendiri disampaikan dia menggunakan Kantor Hukum Yusril Ihza Mahendra untuk membantu secara legal.

Hendrikus juga meluruskan terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan di Mapolda Bali atas laporan Budiman Tiang terhadap PT SUP. Laporan dilakukan SP3 di kepolisian bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena laporan dicabut oleh Budiman Tiang sendiri.

“Laporan polisi terhadap Dirut PT SUP bukan karena kurang bukti lalu dihentikan (SP3), tetapi memang dicabut oleh klien kami, ada buktinya pencabutan karena ada kesepakatan damai. Ini harus diluruskan jangan dijadikan narasi yang menyesatkan,” bebernya.

Sementara mengenai laporan PT SUP terhadap Budiman Tiang atas tuduhan penipuan dan penggelapan dengan alat bukti transfer ke rekening pribadi Budiman Tiang sebesar Rp 15 juta juga tidak benar. Uang tersebut berasal Nicolas Laye yang menyewa apartemen milik management Budiman tiang dan belakangan bukti tranfer tersebut sudah dikembalikan sebelum pihak PT SUP melakukan laporan polisi.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano