Jakarta, Aktual.co — Ketika puluhan ribu mahasiswa berjaket almamater masing-masing lengkap dengan atribut dan bendera mereka berderap memasuki kawasan parlemen Senayan, dunia pun terpana. 

Media massa sejagad terus menatap kejadian detik per detik seluruh perkembangan situasi politik ekonomi budaya di negara berpenduduk Muslim terbanyak ini. Semua menanti gerangan apa yang akan terjadi atas rezim otoriter Jenderal  Besar Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun lebih itu, hari itu 20 Mei 1998, menghadapi krisis nasional yang memuncak.  Krisis yang menuntut reformasi total, ekonomi dan politik.

Akhirnya perintah itu pun turun dari ‘polisi dunia’ yang tak mampu disangkal rejim militer yang selama tiga dasawarsa ditegakkan dengan tumbal  penzaliman jutaan nyawa dan puluhan juta lagi rakyat yang ditangkapi tanpa peradilan jujur. 

Sang jenderal tersenyum itu harus mematuhi  ‘panglima tertinggi’nya,  Menlu Amerika Serikat, Madeline Allbright yang berseru di Seoul: “Soeharto sebaiknya mundur.”

Tak ayal jutaan mahasiswa se Indonesia pun bergemuruh, saat Soeharto mengumumkan “Berhenti” jadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Suatu istilah yang tidak dikenal dalam sistem konstitusi, khususnya di Indonesia. Pernyataan ‘Berhenti’ itu yang membuat posisi hukum sang ‘Mandataris MPR’  menjadi ‘debatable’ sulit dimintai ‘pertanggung- jawaban’.

Sekali lagi gerakan  mahasiswa di Indonesia itu kentara telah ditunggangi elemen kekuatan asing untuk menumbangkan suatu kekuasaan  ‘sah’  yang dinilai para pemodal asing sebagai rejim tidak disukai. Jika dulu Soeharto naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta merangkak dengan menunggangi gerakan  mahasiswa dalam menumbangkan Presiden Soekarno, maka pada gerakan reformasi 17 tahun lalu, dia yang terkena batu, tersandung gerakan mahasiswa.

Soekarno, juru bicara dunia ketiga, Asia- Afrika- Amerika Latin, ditumbangkan konspirasi Barat akibat  sikap sang Proklamator menentang Neo Kolonialisme Imperialisme (Nekolim).  Sikap yang  diwujudkan melalui proyek Conefo (Conference of the New Emerging Forces) guna menentang PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang telah dikooptasi oleh kepentingan politik ekonomi global negara-negara eks kolonialis imperialis pemenang Perang Dunia II. Petilasan Conefo itu kini menjadi komplek parlemen Senayan, yang menjadi simbol kejatuhan Soeharto.

Soeharto  ‘dijatuhkan’ oleh ‘skenario’ Neolib, akibat dinilai mulai mengusik kepentingan pemodal asing. Jika sebatas korupsi atau kolusi, mungkin IMF dan Bank Dunia maupun para multinational corporation akan tidak perduli atas perilaku Soeharto dan kroninya. Bahkan bila Soeharto dkk kumat bersikap bengis lagi membantai rakyatnya, pihak internasional pun tetap menerapkan standar ganda berlagak menutup mata. 

Tapi karena sudah mulai bertindak nepotisme untuk keuntungan kerabat besar kroni Orde Baru dan para borjuasi nasional, sekaligus menggerogoti porsi jarahan para pemodal asing, maka dengan isu Anti KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), rezim Soeharto, anak emas Nekolim ini pun jadi musuh bersama para agen Neolib.

Sudah 17 tahun reformasi sampai hari ini, tentu perhatian khalayak atas presiden pilihan rakyat Joko Widodo menarik diamati. Tuntutan agar Jokowi konsekwen dan konsisten mewujudkan janji kampanye Nawacita dan ‘Trisakti Bung Karno’ berupa Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam ekonomi, Berkepribadian dalam kebudayaan, menjadi pertaruhan utama.

Gairah rakyat dalam Pemilihan Presiden 2014 jelas menunjukkan kerinduan bangsa ini pada sikap lantang Soekarno menentang Nekolim.

Artikel ini ditulis oleh: