Komisi II DPR: Kembalikan Semangat Desentralisasi, Jangan Pusatkan Lagi Segalanya

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menilai polemik pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) bukan sekadar persoalan fiskal, tetapi mencerminkan perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah yang menjauh dari semangat otonomi.

Menurutnya, konstitusi, khususnya Pasal 18 UUD 1945, memberi kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Karena itu, pemerintah pusat diingatkan agar tidak kembali ke pola sentralistik yang bisa menghambat efektivitas pemerintahan daerah.

Zulfikar juga menilai tudingan pemborosan dan kebocoran anggaran daerah tak bisa dilepaskan dari lemahnya pembinaan serta pengawasan pusat. Solusinya, kata dia, bukan menarik kewenangan ke Jakarta, melainkan memperkuat sistem kontrol dan menumbuhkan kepercayaan agar daerah mampu melaksanakan program nasional secara mandiri dan akuntabel.

Berikut petikan wawancara Aktual.com bersama Zulfikar Arse.

Belakangan ramai soal pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang membuat banyak kepala daerah gelisah. Bagaimana pandangan Anda?

Saya melihatnya dari dua sisi, masa sekarang dan ke depan. Tapi arah ke depan itu sangat ditentukan oleh paradigma kita hari ini dalam mengelola hubungan antara pusat dan daerah. Negara ini harus dikelola berdasarkan konstitusi, bukan selera.

UUD 1945 menegaskan bahwa daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, ada urusan mutlak, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan mutlak hanya enam: fiskal dan keuangan, agama, keamanan, pertahanan, hukum, dan kehakiman. Selebihnya diserahkan ke daerah. Itu semangat otonomi yang sejati.

Artinya, kebijakan sekarang belum sejalan dengan semangat otonomi itu?

Begitu kira-kira. Saya tidak ingin menyebut menyalahi, tapi belum sesuai saja. Pusat mestinya fokus pada regulasi, pembinaan, dan pengawasan. Soal pelaksanaan harus berangsur diserahkan ke daerah, karena banyak daerah yang sudah mampu.

Sayangnya, belakangan ini ada kecenderungan kembali ke arah sentralistik. Itu bukan hanya terjadi di rezim sekarang sejak pandemi Covid-19, banyak kewenangan daerah ditarik ke pusat atas nama pengendalian nasional. Tapi setelah keadaan normal, semestinya dikembalikan lagi ke daerah.

Pemerintah pusat beralasan banyak daerah tidak efisien dan anggarannya sering bocor. Apa tanggapan Anda?

Itu pertanyaan bagus. Tapi apakah daerah dibiarkan begitu saja? Kan ada pembinaan dan pengawasan dari pusat melalui Kemendagri. Jadi kalau ada masalah, pembinaan dan pengawasannya juga perlu dievaluasi.

Negara ini punya BPK dan BPKP yang bekerja sampai ke tingkat desa. Nah, bagaimana hasil kerja mereka selama ini?

Jangan semua kesalahan ditimpakan ke daerah.

Pusat juga menyebut pemotongan itu tidak besar, hanya sekitar 30 persen?

Benar, tapi tetap terasa berat bagi daerah. Dalam pembahasan terakhir, ada tambahan TKD dari Rp649 triliun menjadi Rp694 triliun, artinya naik sekitar Rp43 triliun. Tapi secara total masih turun dibanding 2024 yang mencapai Rp918 triliun.

Pemerintah menyebut ini bukan pemotongan, tapi realokasi untuk membiayai program prioritas. Itu boleh saja, tapi pelaksanaannya harus tetap melibatkan daerah. Karena yang tahu kebutuhan masyarakat adalah pemerintah daerah, bukan pusat.

Apakah kebijakan seperti ini bisa disebut langkah mundur, kembali seperti masa Orde Baru?

Kecenderungannya memang ada. Tapi sekali lagi, ini bukan hanya masalah sekarang. Dulu juga sudah mulai terjadi karena ada momentum bencana nasional. Biasanya dalam keadaan darurat, kewenangan ditarik ke pusat. Tapi setelah normal, seharusnya dikembalikan.

Kita ini negara kesatuan yang desentralistik. Semangat konstitusinya memberi ruang sebesar-besarnya kepada daerah untuk mengatur urusannya.

Beberapa kepala daerah mengatakan akibat kebijakan ini mereka kesulitan membiayai pembangunan. Banyak yang bilang uang hanya cukup untuk gaji pegawai.

Itu betul, tapi mestinya rasionalisasi anggaran jangan menyentuh belanja pegawai. Yang perlu dievaluasi adalah belanja barang dan kegiatan yang tidak prioritas. Kepala daerah harus lebih kreatif menata anggaran agar efisien tapi tetap berdampak bagi masyarakat.

Jangan hanya protes. Dengan dana yang ada, tetap harus bisa berbuat. Karena itu bagian dari tanggung jawab seorang pemimpin daerah. Pemerintah pusat juga menilai daerah seharusnya lebih kreatif mencari sumber pendapatan.

Yang berani bersuara memang baru sekitar 18 gubernur. Tapi jangan salah, kegelisahan itu dirasakan juga oleh ratusan kepala daerah lainnya. Hanya saja tidak semua berani bicara terbuka.

Mereka sebenarnya merasakan hal yang sama, ruang fiskalnya makin sempit, sementara tanggung jawab ke masyarakat makin besar.

Menurut Anda, sampai kapan kebijakan rasionalisasi ini akan berjalan?

Saya menyebutnya rasionalisasi, bukan efisiensi. Dan itu memang perlu dilakukan. Tapi pusat juga harus memastikan dana yang dialihkan benar-benar efektif di daerah. Jangan sampai kebijakan nasional justru membuat daerah kehilangan ruang untuk bergerak.

Pelaksanaan program prioritas pun mestinya dilakukan dengan melibatkan daerah secara aktif. Karena program itu dijalankan untuk rakyat yang ada di daerah, bukan untuk pusat.

Program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih itu sebagian besar dikendalikan pusat. Apa sebaiknya diserahkan ke daerah?

Kalau program itu memang prioritas nasional, ya laksanakan sungguh-sungguh. Tapi niatnya harus benar, jangan proyek, jangan rente. Kalau niatnya tulus untuk rakyat, pasti hasilnya baik.

Daerah juga harus dilibatkan. Mereka tahu peta lapangan dan kebutuhan masyarakatnya. Evaluasi dan kontrol tetap perlu, tapi jangan dengan sentimen politik. Yang penting, objektif dan berdasarkan fakta.

Jadi semangat desentralisasi masih sangat relevan ke depan?

Sangat relevan. Pemerintah pusat harus membuka ruang dan kepercayaan lebih besar kepada daerah. Ruang publik kita juga harus sehat, jangan alergi terhadap kritik atau evaluasi. Itu bagian dari cara memperbaiki kebijakan publik.

Lalu bagaimana dengan kapasitas fiskal daerah yang masih rendah?

Memang sebagian besar daerah masih bergantung pada pusat. Dari 514 kabupaten/kota, yang benar-benar kuat secara fiskal tidak lebih dari sepuluh. Dari 38 provinsi, hanya sekitar dua belas yang kuat.

Tapi jangan lupa, kebocoran itu bukan hanya di belanja, di pendapatan juga ada. PAD harus dioptimalkan, belanja harus rasional dan efektif. Jangan bangun kantor mewah sementara pelayanan publik masih terbengkalai. Itu contoh nyata perlunya perubahan paradigma.

Saya lebih suka menyebutnya rasionalisasi, bukan penghematan semata, karena ini soal cara berpikir dan cara mengelola negara secara lebih adil antara pusat dan daerah.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto