Peserta aksi Hari Perempuan Internasional saat melakukan aksi melewati di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (8/3/18). Massa menuntut pengesahan undang-undang yang berpihak pada perempuan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pembantu Rumah Tangga, dan RUU keadilan Gender. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah mengatakan penggunaan teknologi untuk menyebarkan muatan-muatan yang merusak reputasi korban merupakan kekerasan berbasis siber yang banyak terjadi pada 2018.

“Kekerasan itu untuk mengintimidasi atau meneror korban. Sebagian besar dilakukan mantan pasangan, baik mantan suami maupun pacar,” kata Yuni di Jakarta, Jumat (8/3).

Modus yang kerap terjadi adalah korban diancam akan disebarkan foto atau video dirinya yang bermuatan seksual di media sosial atau internet bila menolak berhubungan seksual dengan pelaku.

Yuni mengatakan kekerasan berbasis siber meningkat setiap tahun dan tidak sepenuhnya dikenali oleh korban. Di sisi lain, layanan bagi korban kekerasan berbasis siber belum sepenuhnya terbangun dan bisa diakses secara mudah, baik mekanisme pelaporan maupun pendampingan.

“Sementara norma hukum yang kerap digunakan untuk penanganan kasus-kasus seperti itu adalah Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” jelasnya.

Menurut Yuni, penggunaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik justru kerap kali mengkriminalkan perempuan sebagai korban.

Artikel ini ditulis oleh: