Istilah “komplotan” yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengandung arti “persekutuan secara rahasia yang bermaksud melakukan kejahatan”.

Istilah komplotan digunakan karena pemerintahan Joko-Kalla secara politik tak ditopang oleh sebuah sistem negara yang kuat, juga tak didukung oleh organisasi kepemimpinan yang rapi. Tak ada juga konsep dan keinginan untuk menata ulang negara.

Akibatnya yang memegang kendali kekuasan adalah para komplotan saudagar atau taipan yang memanfaatkan lemahnya institusi negara untuk tujuan membangun dinasti bisnisnya menjadi kian menggurita.

Sejak awal berkuasa, Pemerintahan Joko-Kalla terlihat ditopang oleh berbagai komplotan saudagar yang duduk di dalam pemerintahan yang bekerjasama dengan taipan di luar struktur pemerintahan. Sesungguhnya mereka tak bekerja untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Mereka bekerja untuk kepentingan bisnis dan perusahaannya.

Mereka para komplotan saudagar yang duduk di pemerintahan adalah pembuat aturan main (regulator), mereka juga yang bertindak merencanakan progaram dan budget, mereka sendiri yang pergi ke berbagai negara mengatasnamakan pemerintah RI untuk mencari pendanaan proyek (operator), lalu perusahaan mereka juga yang mengerjakan proyek tersebut sebagai pemenang tender (kontraktor).

Sebagai contoh, proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Projek tersebut diduga dirancang dan ditentukan budgetnya oleh saudagar Jusuf Kalla yang seorang Wapres. JK juga yang keliling ke berbagai negara atas nama pemerintah RI untuk mencari pendanaan proyek tersebut. Lalu konon katanya perusahaan keluarga Pak JK juga yang memenangkan tender untuk mengerjakan projek listrik 35.000 MW.

Jadi seorang Wapres bertindak sebagai regulator, merangkap sebagai operator, merangkap juga sebagai seorang kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah.

Oleh: Haris Rusly (Petisi 28).

Artikel ini ditulis oleh: