Afriansyah bercerita, dulu ia tak pernah tahu akan huruf Hijaiyah atau tata cara menyucikan diri. Situasi berbalik saat ia bertemu dengan seseorang yang baru dikenali melontarkan pertanyaan.
“Dia bertanya, Kamu tahu puluhan lagu, tapi berapa surat Alquran yang kamu hapal?” ucapnya menirukan.
Pertanyaan itu membuat dirinya merasa terpukul bahwa selama ini ia sangat jauh dengan Sang Pencipta. Berjalan jauh hingga ke Tebet, akhirnya ia menemukan wadah yang akan membuat hidupnya berubah dan merasa dekat dengan Tuhan.
Hal serupa dirasakan Irfan Saputra (20). Melawan stigma negatif memerlukan waktu yang panjang. Hidup sebagai anak punk, tidak jarang Irfan dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Misalnya, orang-orang yang sedang bermain ponsel di angkot akan tiba-tiba memasukkan ponselnya ke dalam tas jika Irfan dan kawannya ngamen.
“Kadang kalau lewat kemana aja itu diliatin, diomongin dari belakang. Saya mah gak peduli lah orang saya gak ada niat apa-apa. Cuma niat menjemput rezeki,” ujarnya.
Menjadi orang yang tinggal di kolong jembatan dan pengalaman ditangkap satpol PP pun sering ia alami. Salah satunya adalah ketika dulu ia masih tidur di bawah kolong jembatan Matraman, Jakarta Timur pada tahun 2010. Satpol PP menangkapnya untuk kemudian dikirimkan ke Serpong, Tangerang. Di Serpong terdapat salah satu tempat dikumpulkannya para penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Artikel ini ditulis oleh: