Kini ia menemukan rumah baru dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga sedarah. Jika, ada salah satu kawannya mengalami masalah, mereka bahu berupaya untuk membantu dengan catatan tidak melakukan aksi kriminalitas.
“Kami berkumpul tidak hanya mengaji tapi mengadvokasi teman-teman yang terkena masalah,” ujar Halim menimpali percakapan.
Stigma negatif perlahan mulai pudar meski perlu waktu panjang untuk benar-benar mengubah pandangan masyarakat. Hal itu tercermin dari berbagai relawan yang juga ikut membantu Halim mengajar. Seperti dilakukan Ahmad, seorang psikolog asal DKI Jakarta. Saat tidak ada pekerjaan menumpuk, ia selalu menyempatkan diri ke kolong jembatan Tebet.
Ia membantu puluhan anak-anak punk dalam hal Trauma Healing. Anak-anak punk diajarkan mengenai konsep hidup dan menjadi manusia yang lebih bermanfaat.
Para relawan lain pun membuka jalan kepada anak-anak punk untuk bisa meraih hak hidup yang layak. Beberapa orang di antara mereka bahkan telah bekerja sebagai barista di suatu kafe dan menjadi penjaga toko, sementara sisanya berjualan di depan Stasiun Tebet.
“Kami berharap agar mereka tidak bergantung hidup di jalanan tapi memiliki perkerjaan yang lebih menguntungkan bagi kehidupan mereka,” kata Halim.
Perjuangan untuk bisa lepas dari ketergantungan kehidupan jalanan pun secara perlahan hilang. Sebagian dari mereka tidak tidur di kolong jembatan, namun secara patungan untuk menyewa kamar kos di sekitaran Tebet.
Ia berharap, gerakan yang dibangun dapat menginspirasi masyarakat lainnya untuk melakukan hal serupa. Tak hanya di Ibukota saja, namun merambah ke seluruh daerah di Indonesia karena gerakan ini bukan hanya mengejar sisi duniawi semata, namun menjadi bekal di akhirat nanti.*
Artikel ini ditulis oleh: