Jakarta, Aktual.com — Makin banyaknya korporasi non-bank yang melakukan utang luar negeri (ULN), tentu patut diwaspadai. Pasalnya, tren ULN makin ke sini kian meninggi.

Jika kebijakan utang ini tidak ditopang dengan kebijakan lindung nilai (hedging) tentu akan membahayakan, tidak hanya korporasi itu, tapi juga bisa jadi perekonomian nasional.

“Yang jelas, semua korporasi yang melakukan ULN itu harus melapor ke kami (Bank Indonesia/BI) secara periodik,” tutur Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hendar di kompleks BI Jakarta, Senin (28/3).

Menurutnya, dalam melakukan kegiatan ULN itu, perlu melakukan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian (KPPK) yang diatur oleh BI. Namun sayangnya, tidak semua korporasi yang melakukan ULN itu melapor ke BI, hanya ada 85 persen dari total yang berhutang.

“Jadi, hingga triwulan III 2015 lalu tercatat sudah 2.166 korporasi non bank atau 85 persen dari total korporasi yang wajib lapor telah menyampaikan laporan KPPK-nya,” tegas dia.

Meski begitu, tandas Hendar, pihaknya tetap bersyukur adanya laporan korporasi yang melakukan ULN itu, responnya mulai membaik.

“Kami bersyukur responnya cukup baik. Ini berarti mereka yang mendapat ULN semakin memperhatikan prinsip kehati-hatian,” jelasnya.

Ia menegaskan, dalam rangka mewujudkan prinsip kehati-hatian itu, semua korporasi harus mengikuti aturan berdasar Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank.

Dengan aturan itu, mewajibkan korporasi yang melakukan ULN harus dibarengi dengan transasaksi hedging. Makanya, pasca penerapan ketentuan KPPK tersebut, volume transaksi lindung nilai oleh korporasi juga mengalami peningkatan.

Menurutnya, jika pada 2014 total transaksi lindung nilai (derivatif) bagi korporasi domestik tercatat sebesar US$ 36,81 miliar dolar di 2014, maka pada 2015 mencapai US$ 41,61 miliar dolar atau meningkat 13 persen.

Sementara dari sisi outstanding-nya, korporasi yang telah menyampaikan laporan KPPK ini sebanyak 95 persen dari outstanding ULN korporasi yang wajib lapor.

“Ini tentu positif. Apalagi tingkat pemenuhan kewajiban rasio lindung nilai dan rasio likuiditas pun cenderung meningkat,” kata dia.

Hendar kembali menjelaskan, korporasi yang memenuhi kewajiban rasio lindung nilai untuk kewajiban valuta asing (valas) hingga 3 bulan ke depan sejumlah 1.737 korporasi, yaitu 83 persen dari korporasi yang melapor.

Persentase tersebut meningkat dibandingkan kuartal II 2015 (ada 1.309) dan kuartal I 2015 (1.084). Peningkatan serupa juga terlihat pada pemenuhan kewajiban rasio lindung nilai untuk kewajiban valas 3-6 bulan ke depan dan kewajiban rasio likuiditas.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka