“Saat terjadi gempa kemudian disusul tsunami, ada 37 warga saya, umumnya perempuan dan anak-anak dan hanya empat orang laki-laki yang menjadi korban. Mereka hilang saat tsunami datang dan menggulung rumah-rumah yang berada di samping gudang cengkeh, kopra dan coklat,” kata Ketua RT. 3, RW.5, Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Andi Gopal.
Ia melukiskan betapa dahsyatnya murka alam sehingga melumat bangunan yang ada di sekitar Pelabuhan Donggala itu. “Kami tidak menyangka betapa dahsyatnya gempa dan tsunami yang terjadi saat itu. Cucu saya juga menjadi salah satu korban yang kami temukan meninggal,” ujar Andi Gopal.
Kota tua Donggala pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pada abad awal 20. Setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada tahun 1905, Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia yang menetapkan perubahan pembagian administrasi di pulau Sulawesi. Pelabuhan Donggala dulunya merupakan pelabuhan niaga dan penumpang sehingga masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.
Donggala telah dikenal sebagai pelabuhan laut yang hal itu disebut dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang menyebut nama Donggala sebagai tempat singgah para pelaut nusantara dan mancanegara.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara