Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy sebelumnya juga menyatakan bahwa sangat mustahil PT Adhiguna Keruktama bisa menang proyek secara berturut-turut hingga delapan paket, bila tanpa ada dukungan tangan kuat yang tidak kelihatan dibelakangnya.
“Orang kuat” itu levelnya tentu diatas Dirjen, dan ini yang harus ditelisik tuntas penyidik KPK. Karena tidak mungkin bisa menang berturut-turut bila tanpa diwarnai suap,” ujar Noorsy kemarin.
Apakah karir Menhub Budi Karya Sumadi bakal berujung seperti yang dialami Setya Novanto? “Hal ini masih perlu terus dicermati sembari seluruh elemen masyarakat harus ikut mengawasi KPK,” kata Noorsy melanjutkan.
Sebelumnya kepada wartawan, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan tidak menampik kasus dugaan suap terkait pekerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Jawa Tegah yang menyeret Dirjen Hubla Kemenhub menjadi pintu masuk untuk membongkar dugaan korupsi pada proyek-proyek lainnya.
“Penyelidikannya hingga kini masih berjalan dan dilakukan pendalaman” ujarnya.
Seperti diketahui, anak buah Budi Karya Sumadi ini ditangkap KPK bersama-sama Adiputra Kurniawan, Komisaris PT Adhiguna Keruktama, terkait suap proyek pengerukan pelabuhan Tanjung Mas. Total uang suap yang disita dari tangan Antonius Tony Budiono yang berserakan dalam 33 tas di kamarnya sebesar Rp. 20 miliar, bersumber dari berbagai proyek dan pengurusan jasa perijinan, salah satunya setoran dari organisasi INSA (Indonesian National Shipowners Association).
Bahkan, Indonesia Corruption (ICW) juga menyebutkan Kementerian Perhubungan tidak serius mencegah dan menindak praktek korupsi yang berulang kali terjadi. Padahal total anggaran Kemhub yang bersumber dari APBN cukup besar yakni Rp 45,88 triliun.
Satgas Operasi Pemberantasan Pungli (OPP) yang dibentuk Menhub Budi Karya Sumadi pada 2016 tak lebih hanya pencitraan belaka. Karena di lapangan kong kalikong pejabat Kemhub dengan pemilik kapal masih terus berlangsung. Kapal yang tidak laik laut banyak tapi dibiarkan berlayar.
Perjalanan debut karir Budi Karya kerap “diwarnai aroma amis korupsi”. Dimulai pada tahun 2004-2013, ketika menjabat sebagai Dirut PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk pernah dituding terlibat dalam kasus penjualan gedung milik persero yang merugikan negara.
Lalu pada tahun 2015-2016, pria kelahiran Palembang 18 Desember 1956 ini menjadi Dirut PT Angkasa Pura II mengelola 13 bandara di Indonesia termasuk Bandara Internasional Soekarno–Hatta itu, dan tak perlu menunggu waktu lama sudah ramai dituduh i terkait dugaan korupsi proyek peningkatan kapasitas dan jaringan listrik (PKJL) di Bandara Soeta senilai Rp 980 miliar, dengan potensi kerugian Negara mencapai Rp 232 miliar, lantaran secara tidak sesuai prosedur menunjuk langsung PT Nindya Karya sebagai pemenangnya. (Wisnu)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara