Jakarta, Aktual.co — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu secara transparan membuka siapa saja calon menteri Kabinet yang terkena kategorisasi, sehingga tidak direkomendasikan masuk kabinet pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Tujuannya agar tidak terjadi politisasi, penjegalan, dan pembunuhan karakter terhadap calon tertentu, terutama calon-calon yang tidak disukai pihak tertentu di KPK.
Terkait dengan itu, KPK diharapkan mampu menjelaskan seperti apa proses dan mekanisme penilaiannya serta siapa saja pihak yang terlibat. Hal ini penting dipertanyakan agar KPK tidak menjadi lembaga superior dalam menilai seseorang tanpa dasar hukum yang jelas.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, sangat mungkin hal tersebut terjadi apabila KPK adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bukan sebuah lembaga penegak Hukum.
“Sangat mungkin kalau KPK itu LSM. Nah KPK inikan lembaga penegak hukum, dia punya bukti-bukti cuma belum merasa kuat secara hukum, untuk membuktikannya,” ujar Fickar saat dihubungi Aktual.co di Jakarta, Selasa (21/10).
Menurutnya, KPK tidak mungkin menggunakan metode like end dislike (suka atau tidak suka) dalam mengkatagorikan seseorang terlibat dalam kasus korupsi. “Jadi gak mungkin, ada like end dislike untuk membunuh karakter orang, karena apa yang dia bikin itu ada dasarnya,” ujarnya.
Dia menambahkan, sebagai lembaga superbody pemberantasan korupsi, untuk menentukan status hukum seseorang selalu didasari dengan bukti-bukti yang kuat. Karena, sambungnya, lembaga pimpinan Abraham Samad cs itu tidak mengenal adanya penghentian penyidikan.
“Karena KPK gak punya SP3, jadi dasarnya itu ada bukti, kalau dia bilang merah pasti ada bukti. KPK bertindak atas bukti-bukti hukum,” demikian Fickar.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby