Jakarta, Aktual.co — Ada cerita cukup menarik dari Rumania.
Di bulan Mei sampai Juni 2014, beberapa petinggi penting Amerika Serikat berkunjung ke Bukares, Rumania. Tak main-main, Rumania menerima kunjungan resmi mulai dari Wakil Presiden AS, Petinggi Pentagon, Petinggi CIA, Petinggi Nato dan beberapa Senator AS.
Pesan dari mereka semua hampir sama di media lokal saat itu: “Lawan terus korupsi!!”. Namun, dibalik itu, ada dua misi besar yang dibawa AS yakni meminta pemerintah Rumania untuk menaikkan anggaran belanja militernya karena Rumania akan jadi tempat strategis AS dan Nato untuk menahan langkah Rusia di Ukraina.
“Romania today is hosting U.S. Marines at the M-K Airbase, which also supports logistical operations for Afghanistan. You’re building a fleet of F-16s. Romania is working to bring its defense budget up to 2 percent of GDP, as all NATO allies should and must,” kata Wakil Presiden AS Joe Biden dalam sambutannya di Bukares pada 20 Mei 2014 lalu.
Misi besar yang kedua adalah menyingkirkan perusahaan Rusia Gazprom untuk menggarap potensi cadangan shale gas yang ada di sana. Pemerintah Rumania akhirnya menunjuk Chevron. “Strategically speaking, Romania’s capacity of having its own natural gas production meet the national demand and Moldova’s demand is very important. I told Vice President Biden how I managed to convince most of my interlocutors that Chevron is always better than Gazprom,” kata Perdana Menteri Rumania Victor Ponta kepada perdana Menteri AS, Joe Biden seperti ditulis romania-insider.com pada pada 22 Mei 2014.
Tema besar AS untuk terus melawan korupsi itu tak lepas dari kondisi psikologi massa yang saat ini terjadi di Rumania pasca Rusia “menduduki” Ukrania. Psikologi massa saat ini sudah mencapai titik bahwa gerakan anti korupsi berarti gerakan anti orang Rusia. Kemudian, meluas menjadi gerakan anti korupsi harus melibatkan militer. “New and interesting synonyms appeared in the Romanian media space: “anti-corruption” means anti-Russian, the “anti-corruption” fight gets militarized, and it becomes a holy national mission under American protection,” tulis Costi Rogozanu, editor Lefteast beberapa waktu lalu.
Costi melihat, beberapa politisi pro AS di Rumania juga menggunakan kata dan ikon ‘anti korupsi’ untuk menyerang musuh politiknya. Terutama kelompok-kelompok yang menentang kehadiran Chevron di Rumania. “When protesters focused their attention on the completely abusive way in which Chevron sought to start shale gas extraction in Romania, the „liberal” voices hushed and they started to advance Americanized arguments: who is against shale gas extraction is pro-Putin, corrupt and unpatriotic… Anti-corruption means also fighting against the „enemy within”, which could in turn mean a lot of things: leftists, ecologists, peasants that do not want shale gas extraction in their villages, Eurosceptics, etc,” tambah Costi.
Maklum di sebuah desa tempat Chevron akan mengeksplorasi gas,yakni desa Pungesti dan Silistea di wilayah Vaslui, kehadiran Chevron ditolak oleh warga desa dan pegiat lingkungan. Salah satu alasannya, kebutuhan air bersih sebanyak 35 ribu liter per hari untuk upaya eksplorasi gas sampai 4000 m dibawah tanah itu akan menggangu pasokan air bersih warga desa dan merusak lingkungan. Disamping beberapa alasan lain.
Namun, yang cukup memilukan adalah ketika ikon anti korupsi yang menjadi tren dan membentuk psikologi massa di Rumania itu justru menjadi tameng paling depan untuk melindungi beberapa kebijakan IMF yang justru “menghancurkan” Rumania.
Kemaharahan massa (rakyat) yang harusnya ditujukan ke kegagalan kebijakan dan agenda IMF yang membuat ‘hancur’ perekonomian Rumania justru dengan sangat mudah dialihkan ke kesalahan politisi dan pengusaha yang korup. Ketika sejumlah massa memprotes pemerintah ketika memberi izin Chevron maka dengan sangat mudah protes itu dihentikan dengan menggunakan kata seperti ini: “…who is against shale gas extraction (baca Chevron.red) is pro-Putin, corrupt and unpatriotic”.
Ikon anti korupsi juga yang melindungi banyak langkah-langkah privatisasi besar di Rumania. Ikon anti korupsi juga yang melindungi beberapa perusahaan multinasional AS, dan Uni Eropa untuk tidak ‘diganggu’ kepentingannya. Cukup sederhana strateginya: Minta sebuah LSM untuk mengungkap sebuah korupsi di sebuah lembaga publik, sebuah rumah sakit milik negara misalnya. Kemudian minta media menyuarakannya. Ujungnya publik marah. Dan, saat kemarahan publik memuncak, muncul sebuah gagasan lebih baik rumah sakit yang korup itu diswastanisasi atau diprivatisasi agar transparan dan tidak terjadi korupsi. Padahal tak selalu benar isu korupsi bisa diselesaikan dengan langkah privatisasi.
Ya. Di banyak negara, gerakan dan ikon anti korupsi justru menjadi tameng terdepan dalam memuluskan kebijakan liberalisasi (ekonomi, politik dan budaya) seperti privatisasi, deregulasi dan desentralisasi (otonomi daerah/pemekaran daerah). Bahkan dalam banyak kasus, untuk dijadikan alat menjatuhkan sebuah rezim (Soeharto misalnya lewat isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau sering disebut KKN) agar terjadi instabilitas di sebuah negara. Ruang-ruang yang terbentuk akibat instabilitas menjadi ruang yang paling mudah untuk memasukkan agenda kepentingan tertentu. Termasuk kepentingan asing.
Dan kebanyakan, rakyat atau massa tidak pernah paham dan tahu bahwa ada kepentingan besar dibalik bantuan miliaran Dollar dan niat baik IMF atau World Bank ke sebuah negara untuk membentuk dan membesarkan lembaga anti korupsi dan LSM anti korupsi. Termasuk gerakan anti korupsi di Indonesia.
Geopolitik Korupsi dan Anti Korupsi
Berdasarkan survei, dalam sebuah kolom di laman Arabnews.com, pada tahun 2014, korupsi dan anti korupsi menjadi akar masalah konflik politik, ekonomi di sebagian besar negara-negara timur tengah. Dan bahkan menjadi isu penting geopolitik di Timur Tengah.
Media itu menyebut salah satu contoh. Korupsi yang terjadi di tubuh militer Irak-lah yang menjadi kunci penting berkembangnya ISIS. Menurut pernyataan Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi, ada sekitar 50 ribu tentara tak dikenal terdaftar sebagai tentara penerima gaji bulanan dari anggaran militer Irak. Jumlahnya sangat fantastis, sekitar USD400 juta , atau sekitar Rp480 miliar. Kini, kita barus sadar bahwa tidak butuh dari 5 tahun ISIS berkembang pesat dan menjadi isu geopolitik sangat krusial bagi negara-negara di dunia. Termasuk Indonesia.
Dengan cara pandang seperti itulah harusnya kasus KPK-Kapolri diletakkan. Sangat salah jika perseteruan tersebut hanya diletakkan dalam kotak kecil bernama dan atas nama “penegakan hukum”, “etika hukum”. Ada konsekuensi geopolitik besar dibalik perseteruan itu jika tidak dikelola dengan baik, amat hati-hati dan cerdas oleh negara, oleh Jokowi. Karena ada upaya sangat sistematis yang merambat secara perlahan untuk membenturkan Jokowi (baca: negara.red) dengan kekuatan besar anti korupsi (baca: rakyat.red).
Ketika Jokowi ‘menghukum’ KPK saja maka Jokowi akan berhadapan langsung dengan massa. Demikian mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruqie mengingatkan Jokowi agar hati-hati di kasus ini dalam sebuah acara dialog di televisi beberapa saat lalu. Bisa saja publik akan berbalik arah dan menilai seperti ini : “Jokowi ternyata pro koruptor”, meski niat Jokowi sebenarnya ingin menggerus habis koruptor dan orang-orang busuk di tubuh KPK dan Polri.
Negara ini masih butuh KPK dan Polri. Bukan orang-orang busuk yang ada dibalik kedua lembaga itu. Tapi Negara juga harus tegas menolak jika kedua institusi penegakan hukum itu dijadikan alat untuk memuluskan agenda-agenda asing seperti yang terjadi di Rumania.
Ada isu privatisasi, desentralisasi, deregulasi dan penguasaan ekonomi politik atas wilayah geopolitik tertentu yang justru menguntungkan kepentingan perusahaan multinasional, sekelompok kepentingan atau kepentingan negara tertentu dibalik sebuah gerakan anti korupsi yang masif.
Peristiwa dimakzulkannya Yinluck Shinawatra di Thailand akibat tuduhan korupsi yang bersamaan waktunya dengan munculnya perseteruan KPK – Polri harus menjadi catatan khusus dalam melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini dalam konteks geopolitik. Bisa jadi pemakzulan Yinluck akan terjadi juga di Indonesia jika negara tidak ‘ngeh’. “Kasus KPK-Polri ini bisa jadi pintu masuk untuk pemakzulan Jokowi,” kata pengamat hukum tata negara Margarito Khamis mengingatkan dampak perseteruan ini jika tidak dikelola dengan kehati-hatian dalam sebuah dialog di sebuah televisi beberapa saat lalu.
Ya. Konflik KPK-Polri harus dilihat bersama-sama dengan kasus Yinluck di Thailand dan konflik akibat isu korupsi lain di wilayah geopolitik ASEAN. Kalau lebih luas lagi, harus ditempatkan pada isu perebutan kepentingan geopolitik dan geoekonomi kawasan Asia Pasific antara Tiongkok (plus Rusia) dengan AS.
Akan menjadi terang benderang, jika birokrat, politisi, cendekiawan dan publik bisa melihat kasus ini dengan kacamata yang lebih luas lagi. Pelajaran dan motif gerakan anti korupsi di Rumania dan pemakzulan Yinluck Shinawatra sebenarnya sudah cukup untuk jadi pelajaran penting. “In short, anti-corruption is neoliberalism,” begitu kesimpulan Costi melihat gerakan dibalik anti korupsi di Rumania.
Dan kalau Jokowi jeli dan cerdik, kasus ini justru bisa menjadi alasan dan pondasi kuat negara ini untuk melangkah dan mewujudkan konsep Tri Sakti-nya Bung Karno. Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Kita tunggu, apa yang dilakukan Jokowi…
Artikel ini ditulis oleh: