Syaikh Dr. Hisyam Kamil Hamid Musa saat mengisi kajian kitab dan Ijazah Sanad kitab Minhajul Arifin karya Imam Abū Hamid Muhammad Alghazālī di Zawiyah Arraudhah yang juga Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Arraudhah wa Zawiyah Syadziliyah Qodiriyah, Jl. Tebet Barat VIII No. 50, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3). Menurut ulama asal Kairo Mesir tersebut, segala hal memiliki thariq (jalan) baik dalam fiqh, aqidah, tasawuf, bahasa dsb. Seperti dalam fiqih ada thariq (jalan) Syafii dan Maliki, kemudian dalam aqidah ada thariq (jalan) Asy’ari dan Maturidiy, dalam arudh ada Khalily dan dalam nahwu ada Bashry dsb. AKTUAL/Warnoto

Masa pasca modernitas di Eropa, melecut suatu perkataan yang seolah agung. “Aku melihat ke Barat, tak ada muslim tapi ada Islam. Aku melihat ke timur, ada muslim tapi tak ada Islam.” Ucapan ini menjadi labelisasi tentang pembaruan Islam. Tentang bagaimana Islam harus disusun ulang, merujuk pada format barat. Format modernitas. Dari situlah mencuat Islam modernis. Dan dikotomi Islam pun berbagi, Islam klasik dan Islam modern. Fiqih pun terbagi: fiqih klasik dan fiqih kontemporer. Kata ‘kontemporer’ menjadi pengganti untuk ‘modern’. seolah Islam telah diperbarui, karena dianggap ketinggalan jaman.

Empat abad sejak pembaruan, justru Islam menjadi menghilang. Kini yang tampak, di barat dan timur tak ada lagi Islam secara utuh. Justru tatkala Islam merujuk pada kontemporer (modern), Islam pun memudar. Islam berganti menjadi esensialisme, merujuk pada apa yang berlangsung di barat. Tak banyak ulama, ustad, yang membeberkan, mengapa Islam perlu diperbarui? Shaykh Abdalqadir as sufi berkata, “Islam tak perlu diubah, diperbarui, melainkan kita-lah yang harus kembali ke Islam.” Kalimat inilah yang bisa menerangkan tentang situasinya.

Ide pembaruan Islam, terkesima pada kemajuan barat. Maju dari sisi sains dan teknologi. Ini dianggap parameter kemajuan. Sejak masa rennaisance Eropa, barat menggali lebih panjang sains dan berhasil membuat hukum baru. Dogma digeser menjadi logika. Filsafat menjadi pijakan. Karena filsafat digunakan rennaisance untuk menggoyang dogma yang dikuasai Gereja Katolik. Serangan pada Gereja, berhasil menggeser adagium ‘Vox Rei Vox Dei’ (suara Gereja suara Tuhan). Seolah Tuhan tak ikut campur dalam kehidupan dunia. Paham ini diambil setengah dari era mu’tazilah yang sempat mendengung kencang masa Abbasiyah dalam Islam. Dari mu’tazilah, bergeser ke rennaisance. Masa aufklarung hingga memuncak pada modern.

Dari situlah logos, logika, rasio menjadi pijakan. Dalam konteks abad pertengahan, hal itu menjadi diminati di Eropa. Karena kungkungan doktrin Gereja begitu mengikat. Ditambah banyak yang yang tak bisa dicerma logika. Dari situlah Bacon, Descartes, hingga Kant menjadi diminati. Bukan Cuma merambah soal kosmosentrin, filsafat kemudian merambah tentang teori kekuasaan. Dari situlah akrobatik Machiavelli, Hobbes, Bodin hingga Rosseou, menghasilkan yang disebut ‘state’. Tak ada lagi taqlid. Melainkan logika menjadi nomor satu. Dari state lahirlah, rechtstaat. Ini produk rasionalitas yang nyata. Rechtstaat ini, berujung pada tetap taqlid. Antara Eropa Kontinental atau Anglo Saxon. Dua mahdhab ini yang disediakan rechtstaat. Bahasa lainnya: civil law atau common law. Tak ada lain.

Berjayanya state dan rechtstaat inilah yang mempengaruhi modernis Islam. Lewat adagium, seolah Islam jumud, terbatas, logika menjadi senjata. Inilah yang menghasilkan ‘Young Turk’, kelompok gerakan pemuja modernitas di barat. Puncaknya, tanzimat di Kesultanan Utsmaniyya, 1840. Seabad setelah revolusi Perancis. Dari situlah kemudian Utsmaniyya ditamatkan. Berganti format rechtstaat, bak di Perancis. Utsmaniyya berbelah-belah menjadi beragam state.

Landasan itu, diubahnya syariat. Dieliminasi menjadi rechtstaat. Dalihnya, Islam telah jumud. Maka fiqih dibolehkan diubah demi sesuai perkembangan jaman. Tapi bagaimana dampak perubahan fiqih itu? Itu hanya dalih untuk mengeliminasi syariat. Karean dengan merubah fiqih, maka muslimin menjadi merujuk pada rechtstaat. Dan syariat pun lenyap. Jika alasan kaum modernis, fiqih klasik dianggap jumud, maka kemudian digeser pada rechstaat. Dan di sana tetap ada taqlid. Taqlid pada Eropa kontinental atau Anglo Saxon. Inilah kebodohan luar biasa dari cap ‘pembaruan’ Islam. Karena berujung pada pergantian sistem hukum. Karena Turki berubah menjadi civil law. Saudi, Qatar, Oman dan lainnya, merujuk pada Anglo Saxon. Pun demikian dengan nusantara, tak lagi merujuk pada syariat. Melainkan tunduk patuh pada Code Napoleon, yang oleh Hindia Belanda dulu merupakan hukum untuk golongan Eropa.

Maka, tampaklah konsep pembaruan Islam itu hanya menjerumuskan Islam pada lubang biawak. Karena berujung tak adanya hukum Islam. Syariat. Pembaruan Islam hanya cita-cita seolah muslim bisa duduk semeja dengan kuffar. Padahal itulah hal yang tak pernah bisa. Fiqih kontemporer, fiqih modern, itu hanya bentuk kemunduran Islam. Bukan kemajuan.

Karena sejak masa pembaruan itu, Islam seolah-olah mencari-cari dalil untuk mengislamkan bank, uang kertas, asuransi, undang-undang, sampai urusan pernikahan. Yang sebetulnya semua itu telah diatur secara fiqih. Sementara yang tak diatur dalam Islam, itulah bid’ah. Sementara wacana bid’ah digeser urusan remeh-temeh, mulai wilayah jenggot, celana cingkrang, sampai urusan ziarah kubur. Soal pergantian hukum, dari syariat hingga menjadi Civil Law atau Common Law, tak dianggap bid’ah. Itulah ironi.

Maka, jalan keluar adalah kembali pada fiqih. Bukan merujuk pada doktrin bahwa Islam perlu diperbarui. Islam membutuhkan undang-undang agar bisa dijalankan. Itulah jebakan lubang biawak. Islam telah memiliki fiqih. Yang telah ditelakkan oleh Sunnah Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam.

Jalannya, “Kitalah yang harus kembali ke Islam. Bukan Islam yang harus disesuaikan pada jaman (modern),” kata Shaykh Abdalqadir as sufi.

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq (Direktur Daar Afkar)

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi