Jakarta, Aktual.com — Ekonom senior Emil Salim mengkritik program kereta cepat yang dianggapnya tidak sejalan dengan upaya pemerintah mengatasi ketimpangan sosial di masyarakat.

Dalam Seminar Nasional XXVI Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (27/8), Salim mengatakan bahwa program kereta cepat tidak lebih prioritas jika dibandingkan dengan pembangunan tol laut.

“Saya menyambut baik tol laut, tapi di tengah-tengah program tol laut muncul kereta api cepat di Jawa,” kata pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia tersebut.

Dia mengatakan bahwa pembangunan kereta cepat tidak memiliki pengaruh yang besar jika dibandingkan dengan tol laut yang jangkauannya sangat luas.

Investor asing dianggapnya hanya menyasar proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya karena sekali mendapatkan proyek Jakarta-Bandung maka otomatis proyek yang lebih besar akan terealisir karena sistem operasionalnya akan sama.

“Investasi ini menyangkut pula pembangunan infrastruktur telekomunikasi, kereta, rel, dan lain-lain. Apakah pembangunan ini ‘high priority’?,” kata Salim.

Dia cenderung lebih mendukung program pemerintah yang mampu mengatasi ketimpangan sosial, mengingat 82 persen sumbangan PDB masih berasal dari Jawa, Sumatera dan Bali, 2 persen dari Papua, dan 18 persen dari wilayah lain.

“Di mana suara partai yang sering mendengungkan mengenai keadilan sosial,” kata Salim.

Beberapa pertimbangan pemerintah dalam menentukan mitra proyek kereta cepat antara lain kebutuhan investasi, penerapan teknologi, penggunaan tingkat kandungan dalam negeri, harga tiket kepada penumpang, dan juga potensi efek ekonomi yang dihasilkan.

Proyek kereta cepat Indonesia yang diwacanakan sekelas “Shinkansen” dengan kecepatan 300 kilometer per jam akan melayani rute Jakarta-Bandung. Namun, dalam dokumen studi kelayakan Jepang, terdapat wacana rute kereta cepat ini juga akan melayani konektivitas ke Cirebon, bahkan hingga Surabaya.

Untuk rute Jakarta-Bandung, kereta cepat akan memangkas waktu tempuh perjalanan dari dua hingga tiga jam menjadi sekitar 37 menit.

Jepang sudah terlebih dahulu melakukan studi kelayakan tahap pertama dan menyerahkan proposal kepada pemerintah. Menurut data Bappenas, dari proposal Jepang diketahui biaya pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.

Sedangkan, Tiongkok melakukan studi kelayakan, setelah Jepang. Dari proposal Tiongkok, kebutuhan investasi untuk pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 5,5 miliar dolar AS.

Artikel ini ditulis oleh: