Syafardi menjelaskan, sejak awal perkara ini merupakan perkara keperdataan. Hal ini terkait dengan perjanjian, sehingga proses hukumnya pun seharusnya ke sengketa keperdataan dan bukan merupakan perkara pidana.
Penerapan pasal penipuan dan penggelapan, menurut Syafardi, sebagaimana diatur dalam pasal 378 dan pasal 372 KUHP dalam perkara ini sangatlah dipaksakan, karena dari awal tidak ada perbuatan tipu muslihat yang dilakukan oleh para terdakwa kepada para pelapor.
Diakui Syafardi, hubungan antara para pelapor dengan para terdakwa didasarkan hubungan perjanjian yang dibuat dengan kesadaran penuh oleh kedua belah pihak. Oleh sebab itu tuduhan para terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan adalah sangat tidak relevan dan terkesan dipaksakan.
“Ini juga sejalan dengan putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul ialah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga terdapat pada beberapa putusan lainnya,” tuturnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin