Arsip - Ilustrasi Hutang Pemerintahan era Presiden Jokowi.

Jakarta, Aktual.com – Kehadiran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sidang tahunan Bank Dunia (WB)-Dana Moneter Internasional (IMF) ternyata mencuatkan utang baru untuk pengembangan infrastruktur dalam program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) atau National Slum Upgrading Project (NSUP).

Selama ini, kehadiran Menkeu di acara tersebut tanpa ada gembar-gembor pengucuran utang baru. Padahal utang dari WB ini banyak munculkan pemiskinan dan kerusakan ekologis.

“Karena proyek NSUP dari WB ini, proyek berisiko tinggi yang kemungkinan akan memiskinkan masyarakat,” tandas Koordinator ILRC, Siti Aminah yang merupakan anggota Koalisi Pemantau Infrastruktur, dalam diskusi di Gedung WALHI, Jakarta, Jumat (14/10).

Sejauh ini, kata dia, utang pemerintah Indonesia hingga Agustus 2016 lalu telah berjumlah Rp3.438,29 triliun. Namun, sejak 12 Juli 2016, Badan Direksi WB telah menyetujui utang pemerintah Indonesia sebesar US$ 216,5 juta atau setara Rp2,814 triliun untuk proyek NSUP ini.

“Bahkan selain pinjaman itu, kabarnya pemerintah juga akan mendapat pinjaman perdana dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dengan jumlah yang sama yaitu USD216,5 juta untuk proyek serupa,” tandas Siti.

Dengan demikian, kata dia, pemerintah Indonesia telah menambah utang dari WB dan AIIB itu untuk melaksanakan proyek KOTAKU dengan total punjaman USD433 atau setara Rp5,63 triliun.

“Sehingga skema pembiayaan bersama ini merupakan kerja sama pertama antara AIIB dan WB untuk lima tahun ke depan, dan bahkan menjadi proyek pertama AIIB sejak pendirian AIIB pada 2016 lalu,” jelasnya.

Tak hanya itu, Koalisi ini juga mengingatkan ke pemerintah, bahwa AIIB itu bank baru yang berpusat di Beijing. Dan belum ada berpengalaman sama sekali dalam perlindungan pinjaman ini.

Selama ini pemerintah memang mengusung proyek infrastruktur dalam Program Percepatan Pembangunan (Fast Track Program/FTP). Proyek yang masuk ke FTP itu antara lain, pembangunan 40 PLT Batubara, 40 PLT Panas Bumi, proyek waduk raksasa, PLTN, ribuan kolometer jalan, dan jalan kereta api batu bara yang akan melewati hutan lindung atau hutan adat.

“Namun untuk membiayai proyek itu, yang dilakukan Pemerintah Jokowi mencari pembiayaan melalui Bank Pembangunan Multilateral, seperti WB Group, Asian Development Bank (ADB), dan AIIB, yang pusatnya di Beijing.

Pembangunan mega infrastruktur ini, kata dia, tentu berdampak lingkungan dan terhadap masyarakat, khususnya masyarakat miskin.

“Tapi di Indonesia malah proyek pembangunan bisa dilakukan meski belum mendapat izin lingkungan. Bahkan kalau pun ada, hal itu hanya menjadi syarat formil dalam proses perizinan pelaksana proyek. Seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” tutur dia.

Proyek NSUP ini akan membiayai 153 kota dan satu propinsi DKI Jakarta. Unruk tahun 2016-2017 ini, kedua bank multilateral itu akan membiayai kegiatan proyek di 20 kota terlebih dahulu.

Dari analisa terhadap dokumen pinjaman dan kerangka perlindungan lingkungan serta sosial, kata dia, pihaknya menemukan banyak masalah dalam proyek ini.

“Seperti tidak adanya konsultasi dengan warga terdampak, diturunkannya status risiko dari A ke B, serta potensi kuat atau terjadi pemindahan atau penggusuran paksa, walau mereka menggunakan istilah ‘pemindahan secara sukarela’,” pungkas Siti Aminah.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka