Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang selalu berteriak butuh banyak dana untuk membangun infrastruktur. Makanya, pemerintah selalu mendorong untuk melakukan utang, termasuk BUMN pun harus ngutang.
Namun ketika cara-cara utang sudah monoton, justru cara pragmatis lainnya untuk menggenjot banyak dana melalui penjualan langsung perusahaan pelat merah ke pihak asing. Dan agar cara itu “legal”, lahirlah PP Nomor 72 tahun 2016 ini.
“Saya mencurigai ada dua alasan dalam rangka swastanisasi BUMN ini. Pertama, karena defisit APBN yang kian lebar. Cara-cara konvensional sudah ditempuh seperti utang dan tax amnesty. Maka kemudian pola pikir pemerintah semakin pragmatis, jual BUMN,” cetus Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Institut, di Jakarta, ditulis Jumat (20/1).
Pragmatisme pemerintah ini, kata dia, diawali dengan mengundang investasi asing untuk mengelola BUMN. Semula sebagian yang dikelola, tapi lama ke lamaan bisa seluruhnya.
“Publik jadi semakin tanda tanya, kok di bawah Presiden saat ini, BUMN kian liberal dan cara berpikirnya pragmatis. Kalau jadi Presiden cuma jual BUMN, semua orang juga bisa,” ketus dia.
PP Nomor 72 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas memang menyuratkan mudahnya proses privatisasi
Apalagi kemudian, dalam proses penyertaan modal negara (PMN) non fresh money sudah tak lagi diawasi DPR. Padahal itu sama-sama keuangan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Alasan kedua, kata Yudhie, terkait masalah ideologis. Yaitu pemerintah saat ini hanya beriman kepada ideologi findamentalis pasar. “Jadi, negara (pemerintah) sebagai alat menguatkan peran swasta untuk mengakumulasi modal dan keuntungan. Negara didorong untuk menjadi bagian integral dalam swastanisasi BUMN itu,” papar dia.
Dan dalam konteks ini, kata dia, termasuk juga mendorong adanya regulasi dengan lahirnya PP 72 ini yang cuma buat melancarkan proses swastanisasi BUMN tersebut.
“Untuk itu, saya sebagai warga negara mendorong revisi UU BUMN yang lama. Karena keinginan untuk menyehatkan dan membuat BUMN jauh lebih kredibel itu tindakan konstitusional. Sesuai Pasal 33 UUD 1945. Karena dengan UU yang lama, BUMN jelas tak berfungsi sebagai lembaga ekonomi, karena dikuasai oleh oligarki,” terang Yudhie.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka