Jakarta, Aktual.com — Lembaga keuangan asal Swiss, “UBS” memperkirakan stimulus dari postur belanja pemerintah di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 belum maksimal untuk menopang pertumbuhan ekonomi hingga ke 5,5 persen.
Ekonom UBS Edward Thather menjawab dalam pesan elektronik di Jakarta, ditulis Kamis (27/8), mengatakan kekurangan realisasi penerimaan pajak dari target di 2015 akan membebani pemerintah untuk mengoptimalkan kapasitas fiskal di 2016.
UBS, menurut Edward Thather, memperkirakan defisit anggaran bisa menyentuh 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto.
“Dorongan fiskal untuk pertumbuhan tahun ini dan tahun depan belum begitu terlihat,” katanya. Pemerintah, dalam APBNP 2015, memasang asumsi defisit anggaran sebesar 1,9 persen terhadap PDB atau Rp273,2 triliun.
Edward Thather mengatakan asumsinya tersebut juga berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan bahwa penerimaan pajak hingga akhir tahun terkumpul mencapai 91,8 persen atau sekitar Rp1.367 triliun.
Dengan postur belanja di RAPBN 2016 sebesar Rp2.121,3 triliun dan pendapatan negara sebesar Rp1.848,1 triliun, baru terdapat peningkatan di belanja sebesar 6,9 persen dan pendapatan sebesar 4,9 persen dibanding APBNP 2015.
“Kami masih ragu, anggaran 2016 bisa menjadi sumber utama stimulus,” ujarnya.
Menurut dia, postur anggaran pemerintah pada 2016 ini juga akan memberikan isyarat kepada Bank Indonesia untuk melonggarkan kebijakan moneternya, di antaranya pemangkasan suku bunga acuan (BI Rate).
Asumsi tersebut karena, tekanan secara psikologis dari kenaikan suku bunga The Federal Reserve Amerika Serikat akan mulai berkurang. UBS masih memprediksikan suku bunga The Fed akan naik pada September 2015.
Selain itu, tekanan dari defisit transaksi berjalan yang mereda juga akan menambah kesempatan penurunan suku bunga.
“Kami tetap memperkirakan BI rate akan dikurangi sebesar 50 basis poin pada kuartal terakhir tahun ini, yang disertai dengan langkah-langkah peraturan yang mendukung pertumbuhan kredit bank,” ucapnya.
Artikel ini ditulis oleh: