Jakarta, Aktual.com – Keterlibatan anak usaha Lippo Group melalui PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) dalam pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dinilai membantu dalam program sejuta rumah yang digagas pemerintah.

Menurut pengamat properti, F Rach Suherman, peran Lippo Cikarang dalam pembangunan rumah murah sangat bermanfaat bagi masyarakat. “Selama ini banyak pengembang tak tertarik, karena margin di bisnis ini kecil,” kata dia di Jakarta, Selasa (5/2).

Menurutnya, Lippo sebagai perusahaan properti dinilai tetap kuat dalam pengembangan bisnisnya, meksi digoyang dari kasus Meikarta. Apalagi, Lippo adalah pioner dalam memperoleh dana murah dalam pengembangan bisnis propetinya melalui REIT. Sehingga leluasa melakukan ekspansi.

Masalahnya, tekanan publik saat ini perlu dikelola dengan komunikasi pemasaran yang tidak biasa. “Mereka sedang mengalami musim gugur tetapi ada musim lain yang akan mampu dilalui,” ujar Suherman.

Pengalaman Lippo dalam pengembangan kota mandiri, lanjut dia, sudah tidak bisa diragukan lagi. Oleh karena itu, pembangunan kota mandiri tidak bisa mundur. Meski beberpa kompetitornya, seperti BSD tidak impresif menciptakan itu sejak dicanangkan pertama kali di tahun 1980an, tetapi enclave-enclave pemukiman, bisnis, pendidikan dan rekreasi telah mengurai gaya megapolitan menjadi cukup tersebar.

Kota mandiri adalah konsekuensi dari kemajuan kota-kota besar Indonesia yang harus didorong. Tetapi seyogyanya tidak mengorbankan lahan produktif. Caranya, pemerintah mendorong perijinan yang berpihak kepada pembangunan vertikal melalui KLB yang besar (10-17), KDB yang terukur (40-50%) dan parameter yang lebih progresif untuk optimalisasi lahan.

Tahun ini, lanjut Suherman, bisnis properti akan rebound pasca pilpres April 2019. Namun demikian, tidak akan panjang. Di 2021 cenderung mengalami tekanan lagi karena banyak faktor mulai dari suku bunga hingga deregulasi perijinan yang mandeg.

Selain itu, tahun ini hingga 2021 akan ditandai dengan jenis-jenis properti yang uptrend (lowrise apartment, permintaan 3-4 kamar, logistic park/gudang mini dan co-working space/virtual office diluar CBD), dan downtrend (townhouse di Jabodetabek, kondotel, office grade C).

Selanjutnya, kata dia, kaum milenial belum akan menikmati insentif pasar, sehingga masih akan jadi penonton lagi. Daya beli yang masih rendah dan prioritas belanja yang belum ingin beli rumah, tidak akan  membuat developer menyasar secara spesifik pangsa ini.

Karena itu, dirinya menilai pasar optimis tumbuh tetapi tidak impresif atau pertumbuhannya melandai seperti masa tahun 2010-2013 lalu.

Sementara itu, anggota Komisi V DPR Yoseph Umarhadi mengatakan, pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta sebagai pengembang.

Pasalnya, pembangunan rumah murah tidak hanya berbicara bisnis semata tetapi juga nilai tanggung jawab sosial perusahaan. “Rumah murah bagi MBR jadi tanggung jawab juga pengembang agar kesenjangan backlog perumahan bisa ditekan,” ujar Yoseph.

Menurut dia,, pembangunan rumah murah merupakan amanat UU Tapera. Dimana di dalam UU itu, ada semangat gotong royong untuk menghadirkan rumah menengah kelas bawah bagi semua pengembang. Diakuinya pula, saat ini pembangunan rumah murah bagi MBR oleh pengembang masih minim.

Karena lemahnya penegakan hukum, sehingga pengembang lebih memilih membayar kompensasi dengan membayar uang ketimbang membangun rumah murah. Apalagi harga tanah juga terus naik tiap tahunnya. Namun yang pasti, saat ini masih banyak pengembang besar belum menyasar pembangunan proyek rumah murah.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin