Demikian juga menyangkut aturan hukum yang diterapkan pada masyarakat nya, Sebelum bangsa eropa mengkodifikasi hukum pidana sebagai hukum negara dalam mengatur tatanan masyarakatnya, kerajaan Kalingga sudah menulis dan menciptakan dogma aturan tatanan hukum pidana yang dinamakan kitab “Kalingga Dharma Sastra” yang terkenal dengan potong tangan dan ibu jari kaki, dalam menegakan aturan hukum masyarakat nya seperti yang tertulis dari laporan penjelajah Tiongkok pada jaman dinasti Tang pada medio tahun 648 hingga tahun 674 Masehi, saat berdirinya Kerajaan Kalingga yang terletak di lereng gunung Muria, bagian Utara, yang saat ini masuk kabupaten Jepara, kecamatan Keling, Jawa tengah.
Harus kita akui para pendiri bangsa kita yang saat itu para pemuda terpelajar hasil didikan pendidikan barat, punya komitmen dan pola pikir dengan jangkauan jauh kedepan melampaui jaman nya yang telah menciptakan Dasar Negara dan hukum dasar bagi Soko guru berdirinya sebuah negara, justru menggali dari nilai nilai luhur peninggalan tulisan sastra, dari pujangga pujangga nenek moyang nya pada masa kejayaan Majapahit mencapai keemasan, Rasa Nasionalisme dan Kebangsaan nya begitu menggelora, yang perlu jadi suri tauladan bagi generasi muda sekarang yang mulai terkikis oleh budaya asing yang berakibat terjadi degradasi moral dan melemah jiwa nasionalisme nya dengan adanya kemajuan Tekhnologi informasi dan digital yang seolah olah tidak ada lagi batasan sebuah negara dengan negara lain. Ini yang perlu kita renungkan bersama agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa, yaitu Keindonesiaan
Sangat disayang kan dimasa Reformasi justru bukan di perbaiki apa yang kurang akan tetapi di rombak habis, yang hasil nya bisa kita lihat bersama kita telah kehilangan frasa kebangsaan itu sendiri sebagai bangsa yang Adi luhung, telah kehilangan Ruh nya ke Indonesian sebagai bangsa timur yang berdaulat, mulai diletupkan segala perbedaan ini, menjadi komoditas politik, mulai ada penjajahan budaya, menghilangkan bukti bukti kejayaan para leluhur bangsa pada masa lalu, penjajahan menyangkut keyakinan, dan yang terang penjajahan sistem baik sistem ketatanegaraan menyangkut Demokrasi maupun sistem ekonomi secara global yang telah berorientasi secara liberal.
Sebagai bangsa yang sedari dulu selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat, dalam mengambil keputusan lewat rembuk Desa yang lalu di implementasikan melalui lembaga MPR yang telah dibentuk dan didesain oleh para pendiri bangsa dengan Dasar negara dalam sila ke empat dari Pancasila yang merupakan hubungan integral ibarat suami istri, ibarat lingga dan Yoni dalam sebuah bangunan. Monumen negara yang disebut Indonesia telah direduksi di hilangkan kewenangan nya hingga tidak tampak lagi adanya demokrasi Pancasila, yang ada saat ini adalah demokrasi liberal, yang merupakan konsep dari kolonialisme.
Guru Besar Hukum Tata Negara, dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa, menutur kan menyikapi fenomena dari masa reformasi yang telah meruntuhkan pondasi bangunan kebangsaan, dimana prof Gde panggilan akrab nya menyatakan :
Bila flashback sejenak ke pola pikir (paradigma) “founding fathers” yg berhasil memadukan hasil pendidikan barat (Bung Hatta) dengan pemikiran yang berpijak pada bumi Nusantara (Bung Karno, Soepomo, dan Muh. Yamin), tampak nyata dirumuskan ke dlm Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dinormakan ke dalam (pasal-pasal) yang ada di Batang Tubuh, berikut Penjelasan UUD 1945. Konsep pemikiran tentang Negara Hukum dan Kedaulatan Rakyat sebagai pilar penyangga utama bangunan Negara Indonesia merdeka, memiliki karakteristik tersendiri yg keduanya sejatinya berbasis pada Pancasila sebagai Dasar Falsafah bangsa (Filosofische grondslag), Pandangan dunia (Weltanchaung), Dasar Negara, Idiologi Negara, dan Sumber dari segala sumber hukum. Dalam konteks Negara Hukum Indonesia (dimana Hukum sebagai “Pangliima” (supremacy of law) dengan asas legalitasnya mengandung arti bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (seperti UU atau Perda, misalnya), harus merujuk pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Artinya, walaupun Pancasila bukan Hukum, namun nilai yang terkandung dalam ke lima sila Pancasila mutlak dipedomani sehingga kelak akan dapat melahirkan UU yang bernafaskan moral keagamaan, bernuansa kemanusiaan (HAM) yang Adil dan beradab, berwatak kebangsaan (kepentingan nasional- bangsa, dan negara di atas kepentingan SARA), melibatkan partisipasi rakyat di DPR yang kemudian diputus dengan hikmat kebijaksanaan atau kearifan) serta mencerminkan/merefleksikan keadilan bagi seluruh rakyat (justice for all), bukan keadilan bagi kelompok/elite tetentu, dan bukan keadilan bagi rezim penguasa). Kemudian, pilar Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) pun sama, yaitu berbasis pada sila ke 4, yang terjelma ke dalam 2 lembaga negara, yakni MPR (permusyawaratan) dan DPR (Perwakilan) kedua lembaga negara itu di dalam merespon masalah kenegaraan dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, yaitu berorientasi pd kepentingan rakyat, bangsa, atau negara, bukan untuk kepentingan kekuasaan.
Sayangnya, dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara, elit – elit penguasa kebanyakan dijabat oleh mereka yang jebolan universitas (dari Barat pada umumnya), nyaris tidak ada elit atau pemimpin yang pemikirannya berpijak pada budaya bangsa. Terlebih kebijakan Negara terhadap Kebudayaan (sebagai perintah dari Pasal 32 UUD 1945) tidak pernah terwujud dalam bentuk “Strategi Kebudayaan” Maka jadilah negeri ini tidak hanya dijajah secara non fisik dlm bentuk penjajahan ekonomi, politik, sosial, dan budaya jadilah kemudian budaya luhur bangsa ini semakin termarginalkan dan bukan tidak mungkin suatu saat bangsa Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri yang berpuncak pada sirnanya jati diri manusia Indonesia.
Semoga Allah menolong kita semua, Bangsa dan negara ini, untuk mencapai kejayaan nya.
Oleh : Agus Widjajanto, Penulis adalah Praktisi hukum di Jakarta, pemerhati dan penulis sosial budaya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano














