Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke 8 (delapan) masehi, dimana sesuai dalam catatan sejarah dalam kurun waktu antara tahun 760 dan tahun 830 masehi masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu menguasai tahta kerajaan Medang (Mataram Hindu) dimana pembangunan candi Borobudur (Sambadha Budura) diperkirakan dibangun pada 735 masehi yang membutuhkan waktu antara 75 hingga 100 tahun lamanya, dan baru benar benar rampung pada masa pemerintahan Raja Samaratungga pada tahun 825.
Bangunan candi Borobudur merupakan bangunan fenomenal bukan hanya bagi Indonesia yang merupakan warisan leluhur, akan tetapi merupakan bangunan keajaiban dunia, yang diakui oleh UNESCO.
Candi Borobudur dibangun terdiri dari enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, yang pada dinding nya dihiasi dengan 2.672 panel relief dengan 504 arca Budha, dimana candi Borobudur memiliki koleksi relief Budha terlengkap di dunia. Stupa utama uang terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan seperti bunga teratai jika di potret dari udara. Yang dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca Budha tengah duduk bersila dalam posisi meditasi teratai sempurna dengan mudra (SIKEP tangan) Dharmatjakra (memutar roda dharma).
Monumen candi Borobudur merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Budha sekaligus berfungsi sebagai tempat ibadah dan ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam angkara duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Budha.
Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual keagamaan Budha dari dasar candi dengan berjalan mengitari/melingkari bangunan candi searah jarum jam sambil terus naik bangunan berundak melalui tiga bangunan diatas nya sesuai tingkatan kosmologi Budha. Ketiga tingkatan tersebut adalah Kamadhatu (ranah hawa nafsu), lalu Rupadhatu (ranah berwujud) dan Arupadhatu (ranah tidak berwujud), nilai nilai spiritualisme tersebut dalam Budha dan dalam Hindu, saat itu diakomodir dalam sistem pemerintahan dimana pada setiap pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat melalui kesepakan dewan sepuh kerajaan yang terdiri dari raja, maha patih, para menteri, para brahmana, para adipati sebagai perwakilan daerah untuk mengambil keputusan secara bulat, dan ini adalah konsep budaya politik dari leluhur nusantara sejak awal.
Raja dari dinasti Sanjaya Rakai Panangkaran memberikan ijin kepada umat Budha untuk membangun candi melalui rembuk/keputusan dewan sepuh kerajaan, walau secara resmi kerajaan Mataram beragama Hindu. Bahkan untuk memberikan penghormatan atas agama Budha, sebagai agama minoritas saat itu di kerajaan Medang (Mataram Hindu) Rakai Panangkaran menganugrahkan desa Kalasan (di kabupaten Klaten saat ini ) kepada sangha (komunitas Budha) untuk memeliharaan dan pembiayaan candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisatwa Dewi Tara sebagaimana yang tertulis pada prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Hal ini sangat dipahami oleh para arkeologi bahwa pada masyarakat Jawa kuno dahulu, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menciptakan konflik, dengan memberikan contoh secara politik hukum dimana raja beragama Hindu bisa menyokong dan mendanai serta meng arsiteki Candi bercorak agama Budha, demikian juga sebaliknya.
Maka oleh Rakai Pikatan yang telah mengawini secara politis kepada ratu Pramordawarsani yang beragama Budha, dibangunlah candi Prambanan setelah 25 tahun selesai dibangun nya candi Borobudur, dimana tujuanya adalah menciptakan suasana toleransi antar umat beragama dan kebersamaan yang penuh perdamaian antara Wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra, dengan cara cara local wisdom musyawarah untuk mencapai mufakat demi kepentingan bersama, Dengan cara dibangunnya tempat beribadat dua candi terbesar yang bercorak agama Hindu pada candi Prambanan di desa Prambanan Klaten Jawa Tengah saat ini, dan candi Borobudur yang bercorak Budha di daerah Muntilan magelang.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano