Semarang, Aktual.co — Puluhan mahasiswa Prodi Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang mengunjungi makam massal tragedi 1965 di Plumbon Wonosari Ngaliyan, Sabtu (6/6). Mereka datang berduyung-duyung hanya untuk belajar sejarah dengan cara melihat langsung tempat kejadian tersebut.
Selain itu, mereka belajar dari mendengarkan keterangan langsung dari saksi mata kejadian, Mbah Sukar (82). Mereka mendapat keterangan sejarah selama 1,5 jam yang waktu itu menguburkan ke-24 mayat yang di masukan ke dalam dua lubang. “Saya tidak ingat tanggalnya, pokoknya malam hari di tahun 1965. Mereka datang pakai dua mobil jeep dan dua truk. Truk isinya 24 orang yang akan dieksekusi. Semuanya orang Kendal,” kata dia mengawali cerita.
Dirinya menceritakan panjang lebar sejarah peristiwa tragedi penguburan massal pada saat itu. Dihadapan mahasiswa, dia sambil menitihkan air mata saat bercerita akan para korban yang dikubur paksa masih hidup-hidup dan diberondong dengan senjata api.
Mbah Sukar mengisahkan, tangan orang-orang yang bakal dieksekusi tersebut diikat secara berantai satu sama lain sementara mata mereka ditutup dengan plaster. Semuanya digiring dari jalan menuju tempat eksekusi yang sekarang wilayahnya masuk dalam pengelolaan Perum Perhutani KPH Kendal. Di antara 24 orang tersebut, terdapat satu orang perempuan. Dialah Mutiah yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Kendal. Konon, Mutiah tak mempan ditembak. Ia mati setelah dikubur paksa.
“Mereka sampai sini jam 9 malam, akan dieksekusi jam 1 dinihari. Sambil nunggu, mereka diminta nyanyi genjer-genjer dan pamit kepada keluarga dengan cara berdoa. Setelah eksekusi, hujan turun sangat deras, padahal sedang musim kemarau. Jalan desa sebelumnya kering, kalau ada truk lewat mabul-mabul (debu beterbangan),” katanya.
Bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni kemarin, aktivis hak asasi manusia bersama sejumlah elemen yang terdiri atas mahasiswa, dosen, rohaniawan, masyarakat, pejabat Pemerintah Kota Semarang, hingga aparat kepolisian melakukan pemasangan nisan di makam tersebut. Di atas nisan, tertulis delapan nama yang baru teridentifikasi dari hasil penelusuran Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk HAM (PMS-HAM).
Sementara, Perum Pergutani KPH Kendal telah memberi izin lahan tersebut digunakan sebagai area makam dengan luas 5×10 meter melalui surat keputusan nomor 561/004.3/Hugra/Knd/Divre Jtg tertanggal 30 April 2015. Hingga mahasiswa berkunjung, proses pavingisasi masih dikerjakan oleh sejumlah pekerja.
Mbah Sukar mengatakan semenjak marak judi togel, tempat tersebut menjadi ramai dikunjungi orang untuk mencari peruntungan. Mereka kerap membawa sesaji dan membakar menyan agar mendapat nomor togel. Ia menyatakan penisanan sekaligus perawatan makam bakal meminimalisir orang yang menyalahgunakan tempat tersebut.
Salah seorang mahasiswa, Uri Pradanasari, mengatakan pemerintah pusat semestinya tidak menutup mata terhadap aktivitas penisanan makam. Pemasangan nisan menurutnya bisa menjadi awal dari rekonsiliasi sejarah kelam bangsa. Lebih jauh, selama ini telah terjadi pembelokan fakta sejarah yang kebenarannya diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Selama 30 tahun persepsi masyarakat telah digiring supaya menganggap paham dan ideologi komunis haram berbiak di Tanah Air melalui beragam cara, seperti film dan buku-buku pelajaran di sekolah. “Padahal anggapan itu selama ini keliru. Kekuasaan sudah menyetir semuanya,” kata dia.
Dosen Sastra Jawa Unnes Dhoni Zustiyantoro yang mendampingi kunjungan mengajak mahasiswa untuk kritis terhadap materi sejarah yang selama ini diterima. “Sejarah perlu didudukkan secara objektif sebagai cermin menapaki masa depan lebih baik,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid