Aktual.com – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, bahwa putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 justru telah membuka kotak Pandora dan menimbulkan kekacauan hukum dan penyelenggaraan demokrasi.
“Putusan itu final and binding. Final dan mengikat. Sesuaikan dengan UUD 1945. Oleh karena itu harus dilaksanakan tidak boleh tidak. Dalam Pilpres 2024 lalu juga, putusan MK harus dilaksanakan, meski banyak orang menilai, ada cacat konstitusi. Itu menjadi catatan ilmu dan sejarah,” kata Mahfud dalam podcast YouTube Mahfud MD Official pada 8 Juli 2025.
Mahfud mengatakan, putusan MK yang sekarang ini pun harus diterima meskipun akan menimbulkan kerumitan hukum baru.
Lebih jauh Mahfud mengatakan, ada dua hal yang akan terjadi. Pertama, jika pada 2029 itu harus dipisah antara pemilu nasional dan pemilu lokal, dimana pemilihan kepala daerah dan DPRD dipilih dua tahun setelah pemilu nasional, maka pada tahun 2029 akan menimbulkan problem.
“Problemnya adalah gubernur, bupati dan walikota akan terjadi kekosongan. Dan itu berdasarkan konstitusi. Jika demikian, maka bagaimana mengisi kekosongan itu. Maka bisa disiapkan penjabat gubernur, Bupati dan walikota. Tetapi ini akan jadi aneh juga, masa penjabat sampai 2 tahun memimpin daerah,” ungkapnya.
Menurutnya, penjabat biasanya hanya memimpin dua sampai tiga bulan. Kalau dua tahun ini namanya merampas demokrasi. Padahal di MK itu ada nilai-nilai yang harus dijaga. MK itu harus menyelamatkan hak asasi rakyat dan demokrasi, jangan sedetikpun dihilangkan. Tapi ini malah mengorbankan demokrasi.
“Tapi masalahnya, untuk DPRD tidak bisa memakai penjabat. Harus orang yang dipilih rakyat. Kalau ditunda hingga dua tahun, maka ini akan ada kekosongan. Itu putusan hukumnya,” ujar Mahfud.
Dalam isi putusan tersebut, MK menyatakan, untuk mengatur masa transisi selama kekosongan 2,5 tahun diserahkan kepada pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan DPR.
“Dengan putusan itu, maka pemerintah dan DPR wajib hingga pada tahun 2027, untuk menyelesaikan undang-undang, proses transisi itu Karena pada pertengahan 2027, tahapan awal pemilu sudah dimulai. Seperti pendaftaran partai dan lainnya,” ujar Mahfud.
Selain itu, Mahfud menilai MK terlaku masuk ke ranah open legal policy. Seharusnya hal itu tidak diatur oleh MK. Masalah jadwal pemilu seharusnya itu masuk ke ranah pembuat undang-undang.
“MK terlaku jauh masuk ke ranah tersebut. Apakah ada pelanggaran terhadap open legal policy itu? Ada nggak hal yang melanggar terhadap undang- undang dasar yang Pemilu nasional dan lokal dilaksanakan secara serentak? Kan nggak ada,” tambahnya.
Menurutnya, ada selama ini spekulasi pemilu serentak itu membuat orang tidak konsentrasi karena terlalu banyak pilihan, lalu kualitas demokrasi tidak sempurna. Tapi alasan ini tidak masuk.
Dikatakan Mahfud, yang menjadi masalah serius ini adalah soal Pilkada. Ini sudah diajukan 4 kali judicial review. Dan MK sebenarnya sudah punya sikap. Namun yang terakhir ini, sikap MK kurang konsisten dan membuka kotak pandora yang membuka terjadinya suatu keributan.
“Apa yang dimaksud kotak Pandora itu, adalah sejak 2004 saat MK dipimpin Pak Jimly, itu ada putusan yang bagus dan dipakai terus menerus. Yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72 dan 73. Putusan MK itu menyatakan bahwa Pilkada sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945, bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Artinya dipilih langsung boleh atau dipilih DPRD juga boleh,” paparnya.
Pada tahun 2004 saat Presiden SBY, seluruh fraksi di DPR setuju jika pilkada itu dilakukan secara tidak langsung. Atau dipilih DPRD. Termasuk PDIP waktu itu juga mendukung agar pemilihan dikembalikan ke DPRD.
“Undang-undangnya sudah diajukan ke Pak SBY, namun ada peristiwa politik lain. Jika UU ini disetujui DPR, dan pak Jokowi saat itu menang Pilpres, Pak Prabowo waktu itu kalah. Namun partai koalisi Pak Prabowo menang di DPR, dikuasai hampir 2/3 kursi DPR. Kemudian saat mau dibawa rapet paripurna, suara terpecah lagi. PDIP dan koalisinya tidak mau mensahkan UU tersebut,” ungkapnya.
Karena menurut kalkulasi politik PDIP, kata Mahfud, jika UU ini disahkan, maka DPR dan DPRD dari pusat ke daerah akan dikuasai oleh koalisi Prabowo, dan sudah pasti akan memenangkan pemilihan kepada daerah di parlemen lokal.
Menurut Mahfud, putusan MK tentang pemilu serentak ini akan jadi bola liar. Bisa saja, nanti partai politik mengusulkan kembali, bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan. Ke DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Dan ini dibenarkan oleh MK karena sesuai dengan konstitusi.
Yang kedua, kata Mahfud, MK sebenarnya sudah memutuskan pada nomor 14 bahwa jenis-jenis pemilihan itu ada beberapa. Jenis kesatu, DPR, DPRD, DPR dan presiden jadi satu paket pemilihan. Jenis kedua, DPR,DPRD dan presiden dan wapres jenis sendiri.
Jenis berikutnya adalah yang berlaku saat ini, dan dilaksanakan seluruhnya serentak DPR,DPRD, DPRD, pilpres dan pilkada digelar dalam satu tahun. Dan ini kata MK berlaku karena konstitusional.
Lalu, katanya, ada jenis keempat, yaitu DPR, DPD, pilpres satu paket pemilihan dan pemilihan lainnya pada waktu berikutnya. “Nah ini sekarang yang diputuskan oleh MK mengikuti jenis keempat ini,” ujarnya.
Di sini Mahfud menilai MK tidak konsisten dalam putusannya. Dan pada 2019, MK mengeluarkan putusan nomor 15, yang berisi pemilu itu harus dipisah, antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
“Lalu putusan ini diubah lagi, dalam putusan MK nomor 135 tahun 2024. Dikembalikan lagi ke jenis pemilihan keempat. Pemilu nasional dan lokal dipisah di waktu berbeda,” pungkasnya.
Partai Politik: Putusan MK Berpotensi Inkonstitusional
Dua partai politik yang ada di DPR Yaitu PKS dan Nasdem menolak dan mengkritik putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal.
PKS menilai putusan MK justru melanggar konstitusi dan melampaui kewenagan MK, yang dinilai terlalu jauh mengintervensi Kewenagan pembuat undang-undang.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan, pemilu nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD digelar lebih dulu. Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah baru dilaksanakan sekitar 2-2,5 tahun kemudian.
Ketua Badan Legislasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Zainudin Paru menilai, putusan tersebut secara substansi telah melanggar amanat Pasal 22E UUD 1945 yang menegaskan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Putusan MK, yang berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilihan, dianggap sebagai tindakan inkonstitusional.
”Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subyek lembaga yang diatur,” ujar Zainudin lewat keterangan tertulis, Rabu (2/7/2025).
Wakil Ketua Umum Nasdem Saan Mustopa menilai putusan itu bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyebut pemilu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD sebagai satu kesatuan.
”Kalau MK ingin memisahkan, ya, harus ubah dulu UUD-nya. Kalau tidak mendasarkan pada konstitusi, ya, putusan itu inkonstitusional. Nasdem berkomitmen menjaga UUD,” tandas Saan.
Saan menilai keputusan MK tersebut justru merusak tata kenegaraan dan bertentangan dengan putusan MK sebelumnya, termasuk Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak pada 2019. ***
Artikel ini ditulis oleh:
Jalil

















