Jakarta, aktual.com – Imam Ibnu Athoillah Assakandari adalah salah satu Quthb yang paling agung yang ada di umat islam ini, jika saya ingin menceritakan siapa saja yang mengambil dari beliau kisah-kisah istimewa yang dialami oleh beliau beserta para muridnya misal dari Kitab Thobaqat Syafi’iyyah Al Kubra, didalamnya terdapat kisah istimewa tentang beliau, tapi tidak bisa saya detailkan disini karena keterbatasan waktu.
Imam Ibnu Athoillah Assakandari adalah anugrah dari Allah untuk umat ini berikut kitabnya, Al hikam. Kitab ini merupakan kitab yang penuh keberkahan, maka berusahalah untuk terus memperdalaminya. Dan majelis ini, majelis yang didalamnya dijelaskan kalam-kalam hikmah Imam Ibnu Athoillah Assakandari tidak diragukan lagi bahwa ini adalah majelis yang dipenuhi dengan berkah, sebab kalam hikmah yang dituliskan oleh beliau itu mengajak kita agar terus menjadi ahli akidah tauhid yang suci dan murni.
Salah satu keberkahan kitab ini adalah memiliki kitab syarah (penjelas) sangat banyak sekali. Cukup menjadi buktinya, Imam Zarruq ra memiliki 20 kitab penjelas untuk kitab Al Hikam ini. Artinya Imam Zarruq senantiasa mutalaah dan mempelajari kembali kitab Al Hikam ini di daerah yang ia datangi.
Imam Ibnu Abbad juga memiliki banyak kitab syarah atas Al Hikam ini, juga salah satu Kitab syarah yang paling masyhur adalah Iqozhul Himam karya dari Kakek Syekh Abdul Mun’iem sendiri, yaitu Imam Ibnu Ajibah.
Pada tahun 2002, saya (Syekh Abdul Mun’iem) memasuki masjid al Iman di Damaskus, Suriah. Dan saya menemui Syekh Romadhon Al Buthi setiap hari rabu rutin beliau menjelaskan Al Hikam, di hari kamis beliau menjelaskan Sirah (Sejarah Nabi) dan beliau mengatakan kepada saya: “Seluruh masyarakat di Syam memiliki perhatian yang tinggi kepada kitab Al Hikam, mereka selalu mengkaji kitab ini dalam kehiudan mereka, dan saya mendapatkan ini dari ayahanda saya (Mulla Ramadhan A Buthi).
Syekh Romadhon Al Buthi sendiri punya karangan kitab syarah atas Al Hikam ini sebanyak 6 jilid, tapi tidak seperti agungnya Kitab Iqozhul Himam karya Imam Ibnu Ajibah yang sarat akan isyarat-siyarat dari sisi tasawuf sehingga kemudian yang kita kaji “setiap dari kita punya nasib dari nama yang disematkan kepada kita”, maka disini Imam Ibnu Ajibah (putra dari keajaiban) maka beliau memiliki bagian nisbat dari nama tersebut. Imam Ibnu Ajibah punya 2 karangan besar, yaitu Bahrul Madid dan Iqozhul Himam.
Di dalam keilmuan islam, maklum kita ketahui ulama syariat (zahir) memilki karangan tentang akidah, maka dari kalangan para sufi yang menuliskan Akidah Para Sufi adalah Imam Ibnu Athoillah Assakandari melalu Al Hikam nya. Beliau menjelaskan keyakinan Ahli Syuhud (yaitu orang-orang yang sudah menyaksikan keagungan Allah SWT dalam mazhab sufinya).
Maklum Setiap dari kita (umat islam) adalah orang yang melakukan amal zahir syariat seperti sholat,puasa, zakat, dan amal sholih yang lainnya. Dan setelahnya kita berdoa agar Allah menerima amal kita. Maka dari doa ini kita berharap agar Allah menerima dari apa yang kita lakukan dan persembahkan untuknya. Tetapi tidak ada yang mampu dari kita yang dapat memastikan bahwa amal yang sudah kita lakukan kita itu pasti diterima oleh Allah, karena mereka tidak memiliki bukti yang kongkrit bahwa amalnya telah diterima, misalkan ada orang yang pergi haji, dia tidak tahu apakah hajinya mabrur atau tidak?’. Ini untuk ahli zahir, berbeda dengan ahli batin (sufiyah).
Hak preogratif untuk menjatuhkan putusan atas diterima atau tidaknya sutau amal hanya milik Allah. Amal ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba itu bersifat ghaib (dalam artian disembunyikan oleh Allah apakah diterima atau ditolak) ini bagi ahli zahir, tapi bagi seorang sufi dia melihat tanda-tanda penerimaan amal tersebut dari isyarah yang Allah berikan.
Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam:
من وجد ثمرة عمله عاجلا فهو دليل على وجود القبول آجلا
“Siapa yang merasakan buah/hasil amalnya di dunia maka itu bukti bahwa amalnya diterima di akhirat kelak.”
Dalam hikmah ini, Imam Ibnu Ajibah menjelaskan buah/hasil amal ibadah adalah kenikmatan yang dirasakan dalam mengerjakan ibadah di dalam hatinya dengan rasa senang dan gembira. Contohnya adalah ketika seseorang melakukan sholat, dan mengucapkan takbir “Allahu Akbar”, lalu hatinya menjadi gembira dan lapang, hilang gundahnya, serta dapat merasakan lezatnya bermunajah kepada Allah.
Dan ketika mengucapkan salam di akhir sholat, dia merasakan sedih sebab berpisah perjumpaannya dengan Allah. Dan di sisi lain, ada juga yang melakukan sholat. Setelah takbir, dia tidak merasakan kenikmatan, justru malah ingin mempercepat sholatnya dan hatinya tidak tenang, demikian menandakan sholatnya tidak diterima oleh Allah Swt.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain