Dari gejala inilah Dallas menegaskan: “bahwa di dunia sekarang ini tidak ada negara yang pantas disebut republik”.
Lalu yang mana yang layak disebut republik? Arnold Toynbee, (1889-1975), sejarahwan Inggris yang meninggal di Amerika Serikat. Dalam kitabnya yang tersohor, ‘A Study of History, dia mengatakan: “The Ottoman institution came perhaps as near as anything in real life could to realizing the ideal of Plato’s republic”.
“Kesultanan Utsmaniyah ialah yang pernah hadir paling mendekati menerapkan Republik Plato dalam kenyataannya.”
Maka, itulah republik. Ketika Romawi dengan pondasi Tauhid. Ketika Utsmaniyya, sebelum tanzimat (1840), menerapkannya secara ideal. Republik bermakna Tauhid sebagai dasar pijakan pemerintahan. Ini antitesis dengan modernisme. Karena modernitas, meletakkan ‘qudrah dan iradah’ berada di tangan manusia. Bukan ditangan Tuhan. Seperti Voltaire katakan, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah dictator. Dan dictator tak layak dipatuhi.” Ini modul dasar modernitas, yang memunculkan paham sekulerisme. Karena renaissance itulah wadah digodoknya modernitas. Filsafat sebagai dasar. Filsafat materialism, yang mengeliminasi Kebenaran Wahyu. Alhasil terjebak pada rasionalitas an sich. Ini yang melahirkan modern state, dan berujung pada positivisme. Dari sini, republic makin menjauh.
Karena modernitas meletakkan posisi Tuhan bak pembuat jam. Setelah jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Pakem ini yang menjadi landasan ‘le contract sociale’ ala Rosseau, yang dieksekusi Robbiespierre dalam Revolusi Perancis, 1789. Dari situlah modern state membahana. Puncaknya adalah kendali oligarkhi bankir, yang berkuasa dengan hasrat syahwati. Bukan lagi berpondasi pada akal. Melainkan syahwati. Modernisme inilah yang kemudian berubah liar menjadi system yang menampung segala nafsyu syahwati, menjadi legalistik. Tentu, inilah bencana peradaban. Karena ‘republik’ menjadi sekedar slogan.
Kembali ke ‘republik’, berarti Kembali pada tegaknya Tauhid. Melaksanakan system kekuasaan dengan pondasi Tauhid. Ini tak bisa merujuk pada filsafat. Karena filsafat kekuasaan, seperti dicetuskan Machiavelli, Montesquei, hingga Rosssaeu, meletakkan ‘kekuasaan’ seolah domain manusia. Bukan domain Tuhan. Itu bukan tipikal ‘republik’.
Dan tentu ilusi jika muslimin masih tersihir modernisme. Mengikuti kaum positivis yang absurd. Karena merebut kekuasaan bukan dengan jalur demokrasi, yang telah berubah menjadi okhlokrasi ini. Karena kekuasaan bukan di tangan Presiden atau state. Melainkan berada pada bankir. Presiden hanya bertugas sebagai debitur bagi bankir. Sebagai pembayar utang. Tak lebih. Tak ada cerita soverignity di sana. Ini saatnya kembali pada Divine Law, seperti kata Cicero.
Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, SH