Jakarta, Aktual.co- Rentetan banjir besar yang melanda Jabodetabek khususnya DKI sejak tanggal 13 Januari 2014 memantik kembali munculnya persoalan lama yang selama ini dianggap sepele.

Sebagian orang yang gemar guyon dan klenik bisa saja melihat musibah banjir Senin 13 Januari itu, sebagai hari nahas alias cilaka 13. Para pengamat lingkungan tentu akan mengomentari dari sudut pandang yang berbeda dan ilmiah.

Alasan fenomena alam, curah hujan yang tidak terkendali, perubahan iklim hingga perusakan keseimbangan lingkungan termasuk pembabatan hutan yang serampangan tanpa henti di hulu (kawasan Bogor) akibat ulah manusia termasuk di dalamnya.

Masuk akal, karena teori tentang keseimbangan alam/lingkungan yang diajarkan para guru di masa kanak-kanak adalah bahwa hutan harus selalu lestari dan dijaga karena peranan sentralnya yang sangat penting dalam menjaga kesimbangan air di dalam tanah.

Ajaran tentang kearifan alam menyiratkan, tindakan merusak dan menggundul hutan diwanti-wanti – cepat atau lambat – akan membawa masalah /bencana bagi manusia, dari bencana banjir, longsor, kerusakan habitat flora dan fauna hingga kehancuran sumber mata air bersih sebagai ancaman lansung pada kelangsungan hidup manusia dll.

Banyak faktor penyebab kerusakan lingkungan alam yang dapat dikambing-hitamkan. Dari pertumbuhan dan perpindahan manusia yang tidak terkendali/tidak teratur, pembangunan yang mengabaikan kelestarian, alih lahan yang semena-mena tanpa perhitungan, alih fungsi persawahan ke industri, dll. Bahkan di kawasan Cipayung, Puncak, terdapat pertokoan dan vila yang menyulap dan mengeruk 1/2 saluran Kali Ciliwung menjadi trotoar di belakang toko-vilanya.

Pendek kata, sejatinya sesuai dengan teori, pembangunan itu harus memperhatikan prinsip keseimbangan agar tidak ada yang merugi akibat dampak yang timbul. Dalam hal ini, sangat banyak alasan yang dilemparkan oleh banyak pihak, terkait sebab musabab langganan banjir yang secara rutin menimpa Jakarta. Muncul pertanyaan apakah masih pantas banjir rutin yang melanda Jakarta (Jabodetabek) disebut sebagai musibah?

Bukankah musibah itu merupakan peristiwa yang tidak diduga-duga?. Sepatutnya kejadian alam (banjir) dapat diduga, dianalisa dan diperkirakan sehingga yang berkompeten terkait dapat menyiapkan diri dan masyarakat untuk siap dan waspada “menyambut banjir” dengan dampak kerusakan seminimal mungkin.

Mengingat kejadiannya yang selalu berulang , menahun dan sudah pasti, maka saya mencoba berperdapat bahwa semestinya banjir di Jabodetabek ini tidak lagi masuk kategori musibah. Bukanlah kita sudah tahu pasti bahwa hampir setiap awal tahun (Januari-Februari) Jakarta niscaya akan dilanda banjir? Memang pejabat dan masyarakat sudah berbuat cukup banyak untuk mengurangi dampaknya.

Namun benar bahwa hingga saat ini belum secara tuntas dan total bebas dari dampak banjir. Wacana sudah dilempar, dari Prokasih-nya mantan Men LH Prof. Emil Salim yang blusukan di Kali Ciliwung, normalisasi DAS sejumlah kali di Jabodetabek merelokasi warga penghuni bantaran kali ke apartemen, hingga wacana transmigrasi.

Memang tidak semudah membalik telapak tangan, perlu dana dan waktu sehingga semua pihak harus urut dada – mengasah sabar. Tentu menyalahkan penguasa sebagai objek hujatan terkait banjir tidaklah adil. Melempar “bola panas” banjir ke pundak Jokowi dan Ahok dengan menuduh mereka “tidak becus mengurus banjir” jelas tidak menyelesaikan soal dan menepis derita. Mereka bisa saja berkelit dan berkilah, hanya “ketiban pulung, mencuci piring kotor” membenahi kegagalan peninggalan rezim pendahulu. Masuk akal jika mereka mulai “melawan” dengan mempertanyakan apa saja yang telah dilakukan 4 gubernur pendahulunya menyiasati banjir DKI?.

Dampak banjir pada Senin , 13 Januari yll, dan hari-hari selanjutnya, membuktikan perlunya langkah agar Pemda DKI, Pusat, Jabar dan Banten segera secara konkrit tanpa tunda bekerjasama melakukan sosialisasi dan penegakan hukum tentang Budaya Anti Buang Sampah Sembarangan terutama ke kali.

Diperlukan agar Program Normalisasi Sungai/Kali dan drainase perkotaan di Jabodetabek yang telah dilakukan ditambah dengan normalisasi saluran-drainase dengan program sterilisasi air limbah rumah tangga dari setiap RT/RW dengan membangun sistem penyaringan air limbah di setiap RT/RW secara swakelola/swadaya masyarakat sebelum dialirkan – dibuang ke saluran induk-utama dan kali.

Salah satu langkah penting dan tugas Pemda DKI lainnya adalah perlu menyegerakan normalisasi kali dari sampah kiriman dari luar Jakarta dengan membangun saringan/jaring-jaring di setiap perbatasan sungai/kali yang memasuki Jakarta dari kawasan Jabodetabek untuk menjaring/ menangkap sampah kiriman guna mengurangi volume/tonase sampah kiriman dari luar kawasan DKI tanpa kendali seperti yang terjadi selama ini.

Para pembayar pajak DKI tentu tidak harus ikut bertanggungjawab dalam manajemen sampah warga Bogor, Depok dll yang selama ini dikirim melalui kali, gratisan pula. Pembuatan jaring sampah dari luar DKI ini bukan dimaksudkan menabuh gendang perang sampah dengan penguasa Bodetabekten, namun lebih pada upaya memicu pembenahan manajemen sampah sampah dan limbah RT lainnya.

Sampah kiriman yang terjaring di perbatasan kawasan DKI dengan luar kawasan tentu adalah merupakan tanggungjawab pemerintah luar DKI dalam pengelolaannya sehingga perlu ditangani dan dibahas dengan baik dan terbuka. Jika memang lahan pembuangan sampah DKI didapatkan dengan alasan harga tanah semakin mahal, marilah mulai memikirkan pembangunan Pusat Pengelolaan Sampah modern di tengah laut Jakarta. Ini saatnya ilmu mengejawantahkan manajemen sampah yang diperoleh staff Pemda DKI yang sejak awal tahun 1990-an rajin studi banding hingga ke Jepang. Jepang memiliki manajemen tata kelola sampah hingga menjadi sumber enerji listrik dan residunya dipakai untuk reklamasi teluk Tokyo.

Jika banjir dikhawatirkan akan menenggelamkan bandara Sukarno Hatta jika Kali Ciliwung disodet ke Cisadane, ini pula saatnya bagi Pemerintah Pusat membangun bandara modern di tengah Laut Jawa/Teluk Jakarta dengan segala fasilitasnya. Kita jangan kalah dengan Hong Kong SAR yang mampu membangun bandara modern di tengah laut.

Kondisi geografis dan topography Jakarta yang sebagian lebih rendah daripada permukaan laut tidak perlu ditangisi. Kita perlu sigap menggunakan akal untuk membangun sebanyak mungkin “tangki air buatan” terbuka bahkan bawah tanah, situ-dam dengan fasilitas pompa air bahkan jika perlu kincir angin seperti di negeri Belanda untuk menyedot air langsung ke laut pada saat diguyur hujan dan banjir kiriman dari kawasan Bogor. Dalam kondisi darurat bencana, semua pihak terkait saling menjaga sikap, agar tidak saling menyalahkan, karena yang utama adalah keselamatan rakyat, jiwa, harta bendanya termasuk fasum dan fasos pembenahan manajemen sampah Jabodetabek hingga tuntas merupakan suatu keniscayaan.

Penulis: Sahat Sitorus
Pemerhati masalah sosial
Jl. Bambu Duri 3, Jaktim
Sahat Sitorus (sahatsitorus@yahoo.com)