Ajib Hamdani | Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO
Menjadi fenomena menarik ketika Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengemukakan pandangan senada dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, tentang dedolarisasi. Gubernur Bank Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia sudah menggagas diversifikasi penggunaan mata uang. Misalnya dalam mekanisme local currency transaction atau LCT. Seirama dengan Menteri Keuangan yang menyampaikan bahwa untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS, maka semakin ditingkatkan pola local currency settlement atau LCS dengan negara-negara mitra dagang. Pola kebijakan dan kesepakatan ekonomi ini kemudian dipotret sebagai dedolarisasi.
Dedolarisasi adalah proses penggantian dolar AS sebagai mata uang yang digunakan untuk perdagangan dan/atau komoditas lainnya. Hal ini menjadi bagian dari kebijakan pemerintah yang akan mendongkrak nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar AS. Dimana, paling tidak ada 6 (enam) hal yang akan mempengaruhi penguatan nilai tukar, yaitu: inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, ekspektasi, dan kebijakan pemerintah.
Selanjutnya yang perlu menjadi bahan perhatian adalah proyeksi ekonomi tahun 2023 yang sudah dirancang dalam Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dimana kisaran nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp 14.300 sampai dengan Rp.14.800. Posisi kurs dolar AS sekarang kisaran Rp.14.800 dengan nilai yang fluktuatif, dimana sebelumnya nilai kurs nya stabil di atas Rp.15.000.
Kondisi kurs inilah, yang menurut Menteri Keuangan menjadi salah satu faktor fluktuasi utang negara. Dimana posisi utang negara per Desember 2022 sudah mencapai angka Rp 7.733,99 triliun. Artinya, stabilitas nilai tukar rupiah dalam rentang Kerangka Ekonomi Makro, menjadi satu hal penting untuk turut menjaga kesehatan fiskal Indonesia.
Gerakan dan kebijakan dedolarisasi ini juga menjadi fenomena global yang diambil oleh negara-negara maju yang mempunyai orientasi ekonomi yang sama. Misalnya kelompok negara BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan berupaya mengurangi penggunaan dolar AS dalam bertransaksi antar negara. China dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 17,5 miliar US dolar bisa menjadi motor lokomotif ekonomi dunia. Ditambah dengan Rusia yang bisa membuat konstraksi ekonomi global, tentunya akan memberikan dampak yang signifikan dalam konteks politik dan ekonomi. India juga mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa, karena mempunyai demand dalam jumlah penduduk, nomor besar kedua di dunia, dengan lebih dari 1,4 miliar populasi.
Dalam konteks regional, Indonesia bisa menjadi lokomotif gerakan dedolarisasi melalui Keketuaan ASEAN. Posisi strategis yang diemban oleh Indonesia menjadi kesempatan untuk membuat kesepakatan regional yang bisa memberikan keuntungan ekonomi untuk seluruh negara anggota ASEAN. Dalam KTT Asean pada tanggal 9-11 Mei 2023 di Nusa Tenggara Timur (NTT) nanti kebijakan-kebijakan strategis tentang dedolarisasi perlu dibahas secara terstruktur.
Kebijakan-kebijakan dedolarisasi yang bisa dibangun dengan negara-negara hubungan dagang, paling tidak akan memberikan 3 (tiga) dampak positif terhadap ekonomi Indonesia. Pertama adalah efisiensi. Ketika terjadi transaksi dagang antar 2 (dua) negara, maka transaksi bisa langsung menggunakan mata uang bersangkutan. Kedua adalah relatif terhindarnya dari ancaman global financial crisis, karena banyaknya diversifikasi mata uang yang dilakukan dalam transaksi internasional. Ketiga adalah keuntungan dalam neraca pembayaran dan kesehatan fiskal Indonesia, ketika dolar AS menjadi lebih terdepresiasi dan stabil.
Artikel ini ditulis oleh:
Editor: Megel Jekson