Jakarta, Aktual.co — Menjelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menyidangkan perkara kasus korupsi eks Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Syahrul Raja Sampurnajaya.
“Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karenanya tersebut kepada terdakwa Syahrul Raja Sempurnajaya dengan pidana penjara selama delapan tahun, dikurangi masa tahanan seluruhnya,” kata Hakim Ketua Sinung Hermawan saat membacakan amar putusan Syahrul, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (12/11).
Hakim juga mengganjar Syahrul dengan pidana denda sebesar Rp 800 juta. Bila Syahrul tidak membayarnya, maka dia harus menggantinya dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Hakim Sinung menyatakan, pertimbangan memberatkan Syahrul adalah perbuatannya dilakukan saat pemerintah sedang giat memberantas korupsi. Sementara keadaan meringankannya adalah belum pernah dihukum, mengakui kesalahan, dan menyesali perbuatan.
Oktober lalu, jaksa pada KPK menuntut Syahrul dengan pidana penjara selama sepuluh tahun. Jaksa juga menuntut Syahrul dengan pidana denda sebesar Rp 1 miliar. Bila Syahrul tidak membayarnya, maka dia harus menggantinya dengan pidana kurungan selama delapan bulan.
Menurut Hakim Anggota I Made Hendra, Syahrul yang lahir di Tanjung Karang, Lampung, 59 tahun lalu itu dianggap terbukti melakukan empat perbuatan pidana korupsi dalam kategori pemerasan, gratifikasi, dan menyuap sebagai penyelenggara negara serta pencucian uang.
Syahrul terbukti melanggar dakwaan kesatu. Yakni memeras Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia, I Gede Raka Tantra dan Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia, Fredericus Wisnusubroto, dengan memaksa mereka menyisihkan komisi transaksi dari keseluruhan transaksi PT Bursa Berjangka Jakarta dan PT Kliring Berjangka Indonesia.
Kata hakim, duit itu dipakai buat kepentingan operasional. Atas tindakannya, Syahrul lantas menerima uang Rp 1,675 miliar dari keduanya secara bertahap mulai 2011 hingga 2013, dan diterima oleh Sekretaris Kepala Bappebti, Nizarli, dan dikelola oleh Diah Sandita Arisanti.
Menurut Hakim Made Hendra, semestinya Syahrul sebagai penyelenggara negara membuat rancangan dan rincian biaya operasional secara mandiri, dan diserahkan kepada Kementerian Keuangan buat menunjang kegiatan saban hari. Dia melanjutkan, dengan memaksa PT BBJ dan PT KBI menyisihkan duit komisi transaksi, maka dia menyalahgunakan wewenang sebagai penyelenggara negara.
“Uang itu dipergunakan untuk keperluan pribadi dan keluarga, tidak ada yang dipakai untuk pengembangan komoditi berjangka,” kata Hakim Made Hendra.
Dalam delik pertama, Syahrul terbukti melanggar pasal 12 huruf e Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian, Syahrul terbukti menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 1,5 miliar sebagai Kepala Bappebti. Duit itu diperoleh untuk imbalan atas proses mediasi antara Maruli T. Simanjuntak dan CV Gold Asset (anak perusahaan PT Axo Capital Futures).
Kedua pihak itu bersengketa soal investasi Rp 14 miliar milik Maruli, karena dia melaporkan masalah itu kepada istri kedua Syahrul, Herlina Triana Diehl. Akhirnya, CV Gold Asset bersedia mengembalikan seluruh uang milik Maruli. Setelah mediasi, Maruli mengirimkan uang Rp 1,5 miliar secara bertahap ke rekening milik istri terdakwa, Herlina Triana Diehl, di Bank Windu cabang Rawamangun, Jakarta Timur.
“Pemberian uang itu merupakan hadiah atas apa yang telah dilakukan, dalam melakukan beberapa mediasi sehingga unsur menerima hadiah telah terbukti. Penerimaan tidak harus diterima oleh terdakwa, tapi bisa melalui keluarga seperti anak dan istri,” ujar Hakim Made Hendra.
Syahrul terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian, Syahrul terbukti menerima sogokan Rp 7 miliar dari Direktur PT Bursa Berjangka Jakarta (PT BBJ), Bihar Sakti Wibowo. Tujuan fulus pelicin itu diberikan supaya Syahrul membantu proses penerbitan Izin Usaha Lembaga Kliring Berjangka PT Indokliring Internasional, milik PT BBJ.
Sakti memberikan uang suap kepada Syahrul di Kafe Lulu, Kemang, Jakarta Selatan pada 2 Agustus 2012. Duit itu terdiri dari pecahan USD 600 ribu dan Rp 1 miliar, diletakkan di dalam sebuah tas.
“Padahal pengurusan penerbitan izin usaha lembaga kliring berjangka tidak dipungut biaya,” lanjut Hakim Made Hendra.
Syahrul terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, Syahrul dianggap tidak terbukti memaksa Direktur PT Millenium Penata Futures, Runy Syamora, melalui Alfons Samosir memberikan kepadanya uang AUD 5 ribu. Duit itu ternyata tidak diterima dan dipakai Syahrul sebagai uang saku dalam melakukan perjalanan dinas ke Australia pada Maret 2013, karena dia tidak berangkat.
Menurut Hakim Made Hendra, dakwaan itu hanya didasarkan dari kesaksian Alfons tanpa didukung alat bukti lainnya. Dalam persidangan, lanjut dia, terungkap fakta ternyata duit itu dipakai oleh Alfons.
“Alfons juga sudah mengembalikan uang sejumlah AUD 5 ribu kepada penyidik. Maka dari itu, terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan dalam dakwaan keempat,” ucap Hakim Made Hendra.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu
Nebby