Pertama menyakut kepastian suplai crude. “Negara-negara anggota OPEC itu janji-janji saja, tapi ternyata tak berwujud. Makanya kalau kita mengatakan join dengan OPEC untuk memdapatkam fasilitas crude, mereka akan berkata “saya akan berikan fasilitas minyak dan gas tapi B to B”. Nggak ada faktor teman. Itu clear, mereka itu bisnis, kalau nggak mau dijual di sini, mereka jual tempat lain,” tutur Purnomo.

Permasalahan selanjutnya adalah aspek keuangan dan saling lempar tanggungjawab. “Kilang itu besar sekali financing-nya. Sementara kalangan bilang “kilang itu infrastruktur. Dan kalau infrastruktur, yang duitin pemerintah. Sementara ada yang bilang nggak donk, itu bukan infrastruktur, kamula yang duitin. Pertamina bilang nggak, itu infrastruktur”,” kata dia menambahkan.
Saat ini secara jelas bahwa pemerintah telah menugaskan pembangunan kilang kepada Pertamina. Namun Pertamina tak memiliki finansial yang memadai dan memcari partner untuk mewujudkan pembangunan beberapa kilang yang ditugaskan.
Kemudian yang ke tiga, tentu saja investor mencari posisi aman dan tidak mau berinvestasi begitu saja tanpa ada pihak menjadi penjamin dalam menjalankan roda bisnis. Dan ini dirasa menjadi salah satu faktor penghambat pembagunan kilang.
“Kalau dia masuk ke Indonesia, dia minta partnernya Pertamina karena dia mau secure domestik market,” paparnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta