Jakarta, Aktual.com – Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mengamati wacana perubahan skema kontrak migas yang didorong oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), merefleksikan sebagai wujud gambaran untuk mengatasi kebobrokan di sektor migas.

Menurut Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, sebenarnya sistem yang lama, yaitu producer sharing contract (PSC) cost recovery tidak sepenuhnya salah, faktanya, sistem itu telah di adopsi sekitar 52 negara produsen minyak di seluruh dunia.

Namun kendati konsep itu dilahirkan oleh Indonesia, akan tetapi Indonesia sendiri gagal dalam mengimplementasikan konsep itu. Tidak mengherankan bagi Yusri, dia meyakini permasalahannya bukan pada sistem tersebut, namun pada penyelenggaraannya.

“Konsep PSC dengan skema cost recovery lahirnya dari Indonesia dan sudah dijadikan konsep oleh sekitar 52 negara produsen minyak seluruh dunia dan ternyata hasilnya sangat adil bagi negara dan kontraktornya serta sangat maju sektor migasnya,” kata Yusri, Kamis (22/12).

Dia melanjutkan kalau dicari penyebab utama kegagalan cost recovery di Indonesia, sudah tentu adalah dugaan praktek mark up dan kongkalikong antara oknum-oknum pejabat sektor migas dengan KKKS serta elit-elit politik, termasuk oknum aparat.

Dia memaparkan kondisi migas nasional saat ini, mulai dari lifting terpuruk 820.000 barel perhari ( BPH ) dan gas sebesar 1.115 barel setara minyak perhari ( BSMPH). Hal ini berbanding terbalik dengan laju peningkatan konsumsi BBM nasional sekitar 1.6 juta barel perhari.

Kemudian, ratio penemuan cadangan baru dengan tingkat produksinya berada disekitar angka 50 (Reserve Replacement Ratio/RRR) sudah mengancam ketahanan energi Nasional, seharusnya ratio yang ideal dan bagus berada di atas angka 100.

Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP), terus mengalami penurunan yang drastis, bisa dilihat kontribusi PNBP sektor migas terhadap APBN 2014 masih diangka 19 persen, ditahun 2015 menjadi 7 persen dan 2016 turun jadi 6 persen dari target APBN sebesar Rp1.784 triliun.

“Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi pada 6 Januari 2016 merilis penerimaan negara bukan pajak tekor sebesar USD1,04 miliar atau sekitar Rp14 triliun, artinya telah terjadi lebih besar pengeluaran cost recovery sebesar USD13,9 miliar daripada PNBP hanya USD12,68 miliar. Ironis memang dan ini terjadi pertama dalam sejarah pengelolaan migas kita,” sesalnya.

Kemudian yang lebih mengejutkan publik lanjutnya, pada 14 April, BPK RI merilis temuan dugaan mark up cost recovery dilakukan oleh 7 KKKS yang berpotensi merugikan negara lebih dari Rp4 triliun. Bahkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada 12 November 2016 telah meminta KPK menelisik kasus kasus korupsi di Kementerian Keuangan dan sektor energi yang diyakini membuat 50 masalah bagi negara.

“Ini menjadi tamparan keras bagi semua pejabat di negeri ini, khususnya aparat penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Sudah banyak pintu masuk meyidiknya secara tuntas pada saat terjadi OTT disektor migas tetapi kenapa hal tersebut tidak dikembangkan penyidikannya. Bisa jadi kalau hal itu dilakukan dengan serius oleh semua Penegak Hukum dan tidak tebang pilih proses hukumnya, mungkin saja wacana gross split tidak akan pernah muncul untuk mengantikan skema cost recovery,” tandasnya.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Eka